Mutu pelayanan kesehatan bukanlah slogan, bukan pula proyek sesaat yang dikejar demi lembar sertifikasi akreditasi. Ia adalah napas panjang sebuah institusi pelayanan publik. Ia menuntut ketekunan, keberanian berubah, dan sistem yang berpihak pada keselamatan pasien—bukan pada rasa aman para pengelolanya.
_Di RSUD dr. Slamet Garut, realitas ini bisa saja terjadi atau mungkin sedang terjadi. Rumah sakit daerah yang menjadi tumpuan harapan puluhan ribu warga, terutama dari kelas menengah ke bawah, tidak punya ruang untuk gagal. Ketika satu sistem buruk dibiarkan, maka risiko tak hanya berupa keluhan administratif, tapi bisa berujung pada potensi terjadinya insiden yang bisa menjadi perjalanan tidak menyenangkan atas nama keselamatan pasien. Dan ketika hal itu terjadi, maka rumah sakit telah kehilangan fungsi luhur nya yang mencerminkan tanggung jawab sosial dan misi kemanusiaan dalam sistem pelayanan kesehatan._
Sudah waktunya kita berbicara tentang mutu secara jujur—tanpa pencitraan. Di banyak rumah sakit daerah, mutu sering disalahpahami sebagai urusan administratif: pengisian dokumen, pelatihan formalitas, atau akreditasi yang dikejar dengan segala cara. Padahal mutu adalah kerja kolektif yang harus hidup dalam budaya kerja sehari-hari. Mutu berarti keberanian untuk melaporkan kesalahan, mengevaluasi prosedur, membongkar zona nyaman, dan memperbaiki sistem secara terus-menerus. Tanpa itu, semua hanya kamuflase.
Masalahnya, keberanian semacam ini tidak tumbuh di ruang kosong. Ia membutuhkan ekosistem yang sehat: sumber daya manusia yang disiapkan bukan hanya untuk bekerja, tapi juga untuk berpikir dan bertanggung jawab. SDM rumah sakit tidak boleh lagi diposisikan sekadar pelaksana teknis. Mereka harus menjadi aktor utama perubahan mutu—melalui pelatihan yang kontekstual, kepemimpinan klinis yang kuat, dan sistem insentif yang adil.
Terlalu lama mutu disamakan dengan kontrol. Padahal mutu adalah pemberdayaan. Ketika dokter dan perawat takut melaporkan insiden karena khawatir disalahkan, maka sesungguhnya yang mati bukan hanya transparansi, tapi harapan untuk membangun sistem yang lebih baik.
Karena itu, transformasi mutu di RSUD dr. Slamet—dan rumah sakit daerah pada umumnya—harus dimulai dari pergeseran paradigma. Mutu tidak bisa diserahkan pada satu unit atau satu direktur. Ia harus menjadi semangat bersama. Kita membutuhkan struktur baru yang mampu menjembatani manajemen rumah sakit dengan realitas di lapangan; seseorang atau satuan yang bekerja bukan hanya pada laporan, tapi pada pelatihan, komunikasi, dan perubahan budaya organisasi.
Di sisi lain, teknologi juga harus dimanfaatkan secara serius. Sistem digital rumah sakit yang baik bukan sekadar alat mempercepat birokrasi, tapi juga sarana untuk menciptakan akurasi, mencegah duplikasi data, dan memperkuat pengawasan mutu berbasis data. Namun teknologi hanya akan berguna bila ditopang oleh SDM yang paham, terlatih, dan punya komitmen etis terhadap pelayanan publik.
Kami percaya RSUD dr. Slamet punya potensi untuk menjadi model rumah sakit daerah yang unggul dalam mutu dan layanan. Tapi itu hanya bisa dicapai jika orientasi kita berubah: dari mengejar penilaian, menjadi membangun kepercayaan. Dari sekadar membenahi laporan, menjadi memperbaiki kenyataan.
Di tengah meningkatnya ekspektasi publik dan tekanan pada fasilitas layanan kesehatan, RSUD dr. Slamet tidak bisa lagi jalan di tempat. Kami harus berani menata ulang struktur mutu, memberdayakan SDM, dan memimpin dengan integritas. Bukan karena tuntutan akreditasi, tapi karena inilah jalan satu-satunya agar rumah sakit tetap relevan, dipercaya, dan bermakna.
Mutu bukan tujuan akhir. Ia adalah jalan panjang yang menuntut kejujuran, komitmen, dan kepemimpinan yang hadir di tengah sistem. Bagi kami, ini bukan pilihan. Ini adalah kewajiban moral terhadap masyarakat yang mempercayakan nyawanya pada institusi ini.
*Penulis adalah Ketua Komite Mutu RSUD Dr.Slamet, Kepala Instalasi Laboratorium RS.Nurhayati.,Ketua Persatuan Orangtua Anak Disabilitas Indonesia Cab. Garut*