Faktapasundan.id_Garut – Mencermati kondisi yang ada yang muncul mendera dan dirasakan kader Partai Demokrat, maka pernyataan ini saya buat. Agar kita bisa memandang segala sesuatu tidak memakai persepsi kita tapi lebih mengedepankan proyeksi pada kondisi perpolitikan negeri ini, yang didisain dengan demokrasi compang-camping yang tidak sebenarnya.
Karenanya, menghadapi badai apa pun Kader Demokrat mestilah bersikap selayaknya dalam memandang segala persoalan, baik mencederai kita langsung maupun tidak langsung, tetap dituntut mengedepankan politik yang lebih pada kepentingan rakyat daripada kepentingan partai kita. Itulah tujuan dalam berpartai, yang tidak hanya mementingkan kekuasaan lalu memaksaakan diri di luar kepatutan. Kader Demokrat tidaklah demikian. Ini yang mesti jadi pegangan dalam menyikapi sesuatu dengan tidak berlebihan.
Janganlah anggap bahwa apa yang hari-hari ini dihadapi Partai Demokrat, itu akhir kesempatan untuk berbakti pada negeri ini. Tidak. Justru kita tunjukkan bahwa Kader Demokrat bisa memahami konstelasi politik yang terkadang tidak mengenakkan yang mesti kita terima. Maka, memandangnya tidak perlu dengan ratapan berlebihan, yang justru menampakkan seolah kita tidak dewasa dalam berpolitik. Apa pun yang muncul mendera kita, itu semua bagian dari perjuangan yang mesti kita jalani mau tidak mau, suka tidak suka. Itulah konsekuensi perjuangan.
Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang terdiri dari NasDem, PKS, dan Demokrat sudah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Bacapres, sedang siapa yang akan menjadi Bacawapres nya diserahkan pada Anies untuk memilih siapa yang dianggap selayaknya untuk mendampinginya. Tentu semua akan diukur oleh elektabilitas dan aspek-aspek lain, tentunya yang bisa menyumbang suara signifikan untuk memenangkan Pilpres 2024. Dalam hampir semua polling dan rilis lembaga survei, bahwa yang lebih dikehendaki dan punya kans keterpilihan paling tinggi dalam simulasi Anies dipasangkan dengan berbagai nama, yang tertinggi adalah nama saya, AHY.
Kebersamaan saya bersama Bacapres Anies dielu-elukan seolah tinggal waktu yang tepat untuk secara resmi dideklarasikan. Terakhir kebersamaan saya dengan Anies saat sama-sama menghadiri pertunjukan Wayang Kulit memenuhi undangan PKS, itu keakraban kami yang tampak. Undangan PKS pada saya selaku Ketua Umum Demokrat, yang juga mengundang NasDem yang berhalangan hadir, itu seakan menegaskan sebuah pasangan serasi Anies-AHY sedang dipersandingkan.
Tapi semua itu buyar saat kabar terpilihnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar–biasa dipanggil Cak Imin–yang bukan dari KPP seakan mendapat karpet merah mendampingi Anies sebagai Bacawapres nya. Saya merasakan kekecewaan dari semua Kader Demokrat dari pusat sampai daerah, yang lalu mengekspresikan kemarahannya dengan berbagai cara. Baik lewat pernyataan masing-masing pihak dengan berbagai pernyataan, intinya ada penghianatan salah satu partai dalam KPP. Sebagaimana yang sebelumnya disampaikan Ketua Bapillu Partai Demokrat Andi Arif, ada salah satu partai pengkhianat dalam KPP.
Apa yang disampaikan Andi Arif itu sinyal, agar semua partai yang tergabung dalam KPP untuk sadar diri, bahwa tidak ada yang boleh merasa paling berkuasa lalu bersikap semaunya. Tapi ada pula kemarahan Kader Demokeat yang diekpresikan lewat media sosial, terutama Twitter; kecewa dan geram. Semua muncul dengan ekspresi kemarahan. Itu hal manusiawi. Merasa dikhianati dengan tidak diajak bicara saat penentuan Cawapres itu diputuskan, dan Anies hanya bersama NasDem. Mengesampingkan PKS dan Demokrat.
Sebagai Kader Demokrat tentu merasa “ditinggal” atau “dikhianati”, itu adalah hal wajar. Kemarahan yang diekpresikan dengan berbagai cara yang dimungkinkan itu boleh-boleh saja sampai batas yang wajar. Tapi tidak elok jika berlebihan, seolah kita bergabung dalan koalisi itu semata agar saya, AHY, dipilih sebagai Cawapres nya Anies. Meski keinginan itu sah-sah saja, tapi tidak semata ingin menjadi Bacawapres yang menjadikan kita bergabung dalam misi yang mengusung semangat “perubahan”. Kader Demokrat mestinya melihatnya lebih ke sana.
Maka, hentikan kesumpekan hati yang muncul. Cepat-cepatlah move on. Tidak perlu larut dalam emosi kemarahan yang berlarut, itu tidak baik yang akan menjadikan emosi tidak keruan. Mari kita lihat seluruh persoalan yang muncul dengan wise, dan itu untuk tidak saling menyalahkan. Lihatlah sesuatu tidak dengan kacamata yang semata kita inginkan. Dengan demikian kita bisa melihat kepentingan yang lebih besar yang mesti diperjuangkan. Apa itu? Perubahan pada bangsa, dan nasib rakyat yang mesti kita rubah menjadi lebih baik. Maka, konsentrasi kita arahkan pada hal demikian.
Pastikan melihat semua persoalan politik yang muncul dengan pemahaman yang utuh, yang tentu tidak boleh dilepaskan dari tekanan penguasa untuk tidak AHY yang boleh berdampingan dengan Anies. Ini bukan sama sekali soal integritas Anies yang luntur, yang karena pilihan pada Cak Imin. Jangan mengoreksi integritas seorang Anies Baswedan, pribadi yang selalu berpegang pada komitmen. Jika saat ini tampak oleng, itu semata tekanan psikologis yang dahsyat. Soal itu bisa diserupakan, meski tidak dalam persoalan yang sama, apa yang dialami filsuf Yunani kuno Socrates, yang dipaksa bunuh diri dengan menenggak racun.
Begitu pula tekanan yang diterima Pak Surya Paloh, yang sampai bisnisnya pun diganggu dengan serius, sebuah konsekuensi memilih Anies yang tidak disuka, bahkan jadi momok para bandit kartel. Karenanya, sikapnya seakan jalan sendiri menentukan arah koalisi, itu tidak terlepas tekanan politik yang diterimanya begitu dahsyat. Sikapnya yang semula tegar pun tampak oleng. Maka, tidak fair dan kurang tepat jika menilai intergitasnya. Biar waktu nantinya yang akan menjawab.
Sekali lagi, teruntuk Kader Demokrat di mana pun berada, bahwa yang terpenting buat Partai Demokrat bukanlah AHY harus menjadi Cawapres, tapi yang utama adalah membangun negeri dengan semangat perubahan. Waktu masih panjang saat pendaftaran resmi pasangan Capres, semua hal bisa terjadi. Semua punya kemungkinan untuk berubah, maka di sanalah Partai Demokrat akan menemukan tempat pijakannya yang pas dan tak mungkin bisa lagi digoyang. Tetap tataplah ke depan, dan jika perlu berhenti sejenak di tempat, itu terkadang diperlukan untuk bisa melangkah lebih jauh lagi. Sekian.
*AHY*