Oleh : Galih F.Qurbany
Apa jadinya sebuah kabupaten jika birokrasi yang seharusnya menjadi otot pelayanan publik justru menjelma menjadi sindikat “yes men”? Inilah yang dibongkar secara terang-terangan oleh mantan Bupati Garut dua periode (2014 – 2019) – ( 2019 – 2024 ), Dr. H.Rudy Gunawan MH.MP, dalam sebuah obrolan podcast yang kini viral. Dengan penuh getir, Rudy menyebut birokrasi Garut diwarnai budaya “_ngabudi ucing”_*—yakni bersikap seolah patuh dan manut di depan atasan, namun membelot, mencuri, dan bersekongkol saat atasan lengah. Bukan hanya soal kepatuhan palsu, Rudy juga menyebut fenomena
“*_nyo’o kanjut_*”—yang bekerja tanpa gairah, tanpa etos, hanya demi menggugurkan kewajiban, seolah patuh dan tunduk didepan pimpinan. Kedua istilah ini bukan sekadar umpatan, tapi diagnosis sosial terhadap penyakit kronis birokrasi lokal.
Ini bukan tuduhan tanpa dasar. Rudy menyaksikan sendiri selama dua periode kekuasaannya bagaimana birokrat lebih sibuk mengamankan SK jabatan, memupuk loyalitas semu, dan membangun jejaring asal bapak senang (ABS), daripada menjalankan fungsi pelayanan publik. ASN menjelma menjadi aktor politik transaksional yang sangat piawai memainkan drama subordinasi. Di depan, mereka menunduk hormat; di belakang, mereka menggerogoti anggaran, menyabotase program, dan membangun kerajaan kecil berbasis dinasti jabatan.
Dalam bahasa akademik, inilah yang disebut organizational hypocrisy—ketika ada jurang besar antara apa yang dikatakan dan yang dilakukan oleh organisasi. Fenomena ini makin parah ketika digabungkan dengan teori bureaucratic path dependency: birokrasi mempertahankan pola usang karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan yang menguntungkan aktor-aktornya. Dalam konteks Garut, budaya ABS, manipulasi loyalitas, dan permainan politik jabatan telah membentuk semacam struktur bayangan dalam tubuh birokrasi itu sendiri—informal governance within the formal institution.
Yang lebih menyakitkan, birokrasi jenis ini tak hanya gagal melayani rakyat, tapi juga menjadi rem terhadap setiap upaya inovasi. Berbagai kebijakan transformatif kerap kandas di tangan ASN yang memilih diam, membiarkan program berjalan setengah hati, bahkan menggagalkannya secara sistemik. Dalam teori public choice, ini adalah ekspresi rasional dari aktor birokrasi yang lebih memilih insentif pribadi daripada kebaikan bersama (common goods). Mereka bukan pelayan publik, tapi pedagang pengaruh. Jabatan dijadikan komoditas. Loyalitas dijual kepada siapa pun yang memberi jaminan keberlanjutan karier.
Kini, setelah Rudy lengser, pertanyaannya mengerucut pada satu hal: apakah pola ini akan kembali diulang dalam kepemimpinan baru Bupati Syakur Amin dan wakil bupati, Putri Karlina ?, Atau akankah mereka menjadi duo pemimpin yang benar-benar membersihkan warisan kebobrokan ini?
Reformasi birokrasi yang dibutuhkan Garut bukan lagi reformasi administratif. Bukan sekadar pemangkasan prosedur atau digitalisasi layanan. Yang dibutuhkan adalah cultural reengineering—rekayasa ulang terhadap nilai, etika, dan mentalitas ASN. Harus ada pembersihan besar-besaran terhadap praktik hipokrisi birokratik. ASN harus diaudit tidak hanya dari kinerja formal, tapi dari etos dan integritas sosialnya. Jangan lagi biarkan mental “ngabudi ucing” bercokol di kantor-kantor pemerintah, menjelma menjadi virus yang merusak kepercayaan publik dari dalam.
Pemimpin baru Garut harus membangun sistem insentif berbasis meritokrasi sejati, memperkuat mekanisme whistleblower protection, dan membentuk unit khusus antisipasi sabotase internal. Ini penting karena, seperti kata Rudy, ASN bisa sangat licin: di depan bupati mereka berkata “siap laksanakan”, tapi ketika bupati berbalik, program dikubur, anggaran dipereteli, dan laporan dimanipulasi. Maka birokrasi mesti diawasi bukan hanya oleh atasan, tapi juga oleh warga, media, dan sistem pengawasan digital yang real-time dan transparan.
Dari kaca mata kebijakan publik, apa yang terjadi di Garut adalah contoh sempurna dari kegagalan policy implementation gap—ketika kebijakan yang baik di atas kertas tidak pernah sampai ke rakyat karena tersumbat di jaring-jaring birokrasi yang korup dan tak kompeten. Maka solusi untuk ini bukan hanya governance reform, tapi governance disruption.
Rudy telah mewariskan pelajaran pahit dari dalam ring kekuasaan. Ia bukan pengamat dari luar, tapi mantan petarung yang paham belantara birokrasi Garut hingga ke akar-akarnya. Kritiknya tidak boleh dianggap sebagai dendam politik atau keluhan mantan pejabat, tapi sebagai public confession yang berharga untuk membangun tata kelola yang lebih waras.
Dan saat ini, Bupati – Wakil Bupati terpilih, Syakur dan Putri tidak boleh hanya menjadi penonton atau akan menjadi korban berikutnya dari pola lama. Mereka harus segera mengambil posisi sebagai arsitek perubahan dan menjadikan pemerintahannya sebagai babak baru reformasi subtantif dan faktual . Dan tentu saja perubahan itu harus dimulai dengan satu sikap politik yang tegas: membersihkan ASN “ngabudi ucing” dan tukang “nyo’o kanjut”, yang menjadi batu sandungan kemajuan Garut selama ini.
Inilah momentum. Bila dilewatkan, sejarah hanya akan mencatat mereka sebagai dua nama lain dalam daftar panjang pemimpin yang kalah oleh sistem. Tapi jika berani, Syakur dan Putri bisa mengukir babak baru: lahirnya birokrasi Garut yang waras, jujur, dan melayani.
Penulis adalah : _Pengamat Kebijakan & Informasi Strategis ,PAKIS_