Workshop Eco Faith difasilitasi oleh Ashoka Indonesia dan Eco-Bhinneka Muhammadiyah sebagai lembaga nirlaba bergerak di bidang lingkungan dan climate changes. Adapun penyelenggara kegiatan ini dilaksanakan oleh Spiritual Change Makers Initiative (SICI) zona Jawa-barat, Banten, dan lampung yang terdiri dari Fatayat NU Garut, PGRI, Eco Peace Jakarta, dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat Departemen Germas.
Workshop ini menghadirkan Nissa Wargadipura sebagai pemateri sekaligus tuan rumah dan Pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thoriq. Ia menyampaikan bahwa pada tahun 2008 Ia membangun Ath-Thoriq yang awalnya berasal dari Serikat Petani Pasundan.
Berangkat dari Refleksi Pengorganisasian Petani, Ia mendirikan Pesantren dan membangun Reformasi Pendidikan “GREEN ISLAM” sebuah Ekosistem Artikulasi melalui “element Tauhid, Khalifah, Rahmatan Lil Alamin, Amal Saleh, dan Shodaqoh” sebagai Kontruksi Discourse Ekologi dan Islam yang memiliki makna, konsep dan implikasi yang sangat luasHal ini ia lakukan sebagai upaya untuk membuat sesuatu dalam kehidupan.
Hal ini menurutnya karena pesantren telah berhasil membangun budaya keislaman yang mengakar luas di Indonesia. Budaya keislaman dalam pesantren menjadi karakter tersendiri dalam membangun budaya bangsa. Kehidupan pesantren yang nyaman, penuh pengetahuan, penuh rasa kekeluargaan, dan memiliki romantika budaya sendiri. Karakteristik budaya menjadi gambaran identitas budaya pesantren yang bermanfaat bagi pembangunan budaya nasional yang bersumber pada kearifan pesantren. Masyarakat pesantren yang identik dengan kajian dan praktek keislaman ternyata juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau kearifan lokal.
Nissa menjelaskan bahwa Agroekologi adalah tadisi kearifan lokal yang dikembangkan Pesantren Ekologi Ath Thaariq melalui “Buruan Bumi/Imah”. Buruan adalah pekarangan, Bumi adalah rumah bagi orang Sunda. Pengetahuan seperti ini didapat secara turun temurun, dari ayah, Ibu, paman, nenek kakek pendiri pesantren yang notabene berprofesi sebagai petani. Saat ini ia mencoba mengembangkan pesantren Ath-Thoriq dengan mengembangkannya menjadisekolah ekologi indonesia.
Rezza D. Brammadita selaku representatif dari Ashoka Indonesia menyampaikan apresiasinya kepada pesantren Ath-Thoriq yang memiliki kegigihan dan konsistensi merawat konsep ekologi dalam bentuk pembelajaran dan praktik baik yang dilakukan melalui komunitas pesantren.
“Sebuah peranan yang sangat luar biasa di tengah gempuran perkembangan teknologi dan gempuran produk impor saat ini, Ath-Thoriq hadir menawarkan kemandirian ketahanan pangan yang berspektif keagamaan melalui pendekatan keluarga dan komunitas,” tutur Rezza dalam sambutan pada kegiatan workshop tersebut.
Peserta workshop berasal dari perwakilan tokoh komunitas, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki konsen terhadap lingkungan dengan jumlah kurang lebih 20-25 peserta yang ada di Kabupaten Garut.
Di akhir kegiatan para peserta dipandu untuk membuat rencana aksi yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Rencana aksi dibuat sebagai upaya untuk melanjutkan praktik baik yang telah dilakukan pesantren Ath-Thoriq agar dapat ditularkan pada komunitas-komunitas yang ada di kabupaten Garut.
Hal ini ditegaskan oleh Chotijah Fanaqi sebagai representasi SICI dari Fatayat NU Garut yang menyampaikan bahwa tujuan dari kegiatan workshop mengajak sebanyak mungkin komunitas keagamaan maupun komunitas pemberdayaan untuk sama-sama merawat bumi melalui cara dan perspektifnya masing-masing.
“Karena semua orang memiliki potensi untuk menjadi change maker, maka mulai dari diri kita, keluarga, dan komunitas terkecil kita berupaya membuat perubahan yang berdampak bagi perbaikan lingkungan dan iklim yang mulai mengkhawatirkan ini,” pungkasnya.