FaktaPasundan.id – Garut : Garut kembali menjadi panggung politik yang menyita perhatian. Sebuah aksi demonstrasi yang awalnya mencekam justru berakhir dalam nuansa hangat, penuh keakraban, bahkan tak ubahnya sebuah ruang dialog terbuka antara rakyat dan pemimpinnya. Ironisnya, perhatian publik lebih banyak tersedot pada sebuah insiden kecil, Bupati Garut yang terselip lidah saat membacakan Pancasila.
Sorakan pun muncul, kamera ponsel merekam, media sosial riuh. Seolah-olah slip lidah itu adalah sebuah dosa politik. Padahal, siapapun bisa mengalaminya. Dalam teori komunikasi, ini disebut slip of the tongue—fenomena psikolinguistik yang lumrah, natural, bahkan terjadi pada orator kelas dunia. Menyulut debat panjang dari hal remeh ini hanya memperlihatkan betapa publik lebih mudah terprovokasi oleh sensasi ketimbang substansi.
Justru yang jauh lebih penting untuk dilihat adalah cara bupati bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) mengelola situasi aksi. Saat tensi tinggi, ketika ancaman anarkisme dan chaos mengintai, bupati memilih metode komunikasi dialogis, tidak menutup diri di balik pagar, tidak berlindung pada aparat, melainkan duduk bersama para demonstran di Lapangan Setda, dalam formasi melingkar. Formasi itu bukan kebetulan. Dalam teori sosial, lingkaran adalah simbol kesetaraan, tak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua diberi ruang bicara, semua didengar.
Di sinilah kepemimpinan diuji, Bupati menunjukkan bahwa kekuasaan tidak harus defensif, apalagi represif. Ia memberi ruang luas bagi mahasiswa dan masyarakat menyampaikan keresahan, sementara aparat keamanan ditahan dalam sikap preventif tanpa intimidasi. Suasana yang semula berpotensi meledak, tereduksi menjadi forum dialog publik yang hidup. Ini bukan pencitraan, melainkan praktik nyata komunikasi partisipatif, sebuah model yang kerap kita dengungkan tapi jarang diwujudkan.
Lebih jauh lagi, aksi ini melahirkan nota kesepakatan yang justru sangat cerdas dan mendasar. Aliansi Mahasiswa bersama Masyarakat Garut Menggugat menuntut hal-hal yang substansial, DPRD diminta transparan dalam kinerja dan anggaran, hasil reses dipublikasikan secara terbuka; tata tertib dewan direvisi dan dilengkapi dengan kode etik yang jelas; pemerintah daerah dipacu mempercepat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia; kekosongan jabatan SKPD segera diisi; dan aparat hukum dituntut menjamin kebebasan berpendapat tanpa represifitas.
Ini bukan sekadar teriakan kosong. Tuntutan itu menggambarkan keresahan publik terhadap stagnasi tata kelola pemerintahan dan defisit kepercayaan pada elit politik. Lebih penting lagi, aksi ini menyuarakan sebuah solusi: transparansi, reformasi institusi, penguatan SDM, dan perlindungan demokrasi. Inilah artikulasi dari akumulasi kemarahan publik yang berlapis—dari masalah lokal hingga resonansi krisis nasional.
Slip lidah bupati seharusnya diperlakukan sebagai hal biasa, bukan sebagai senjata olok-olok. Yang layak mendapat sorotan adalah bagaimana sebuah aksi mencekam berhasil dipelihara dalam koridor damai, bagaimana ruang publik tidak direpresi, dan bagaimana tuntutan mahasiswa-masyarakat menawarkan jalan keluar atas problem Garut, bahkan problem Indonesia.
Dalam konteks ini, aksi Garut Menggugat adalah momentum penting. Ia mengajarkan bahwa demokrasi lokal bisa berfungsi: rakyat bicara, pemimpin mendengar, institusi dipaksa terbuka. Dan di tengah polarisasi politik nasional, Garut justru menunjukkan bahwa konflik bisa dikelola menjadi dialog, bahkan slip lidah bisa menjadi jembatan untuk menertawakan diri sekaligus menyadarkan betapa seriusnya tuntutan rakyat.
Demokrasi tidak sedang jatuh oleh sebuah salah baca, melainkan justru hidup karena ada rakyat yang berani bicara dan pemimpin yang mau mendengar. *edtr-dar











































