FaktaPasundan.id – Garut : Sebuah surat yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri terkait Perumda Air Minum Tirta Intan Garut belakangan ramai diperbincangkan. Isinya menuding adanya kejanggalan dalam penunjukan akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan tahun 2025. Surat itu seolah tampil heroik, mengatasnamakan kepentingan transparansi dan akuntabilitas.
Namun, ketika dicermati lebih dalam, surat tersebut justru rapuh. Tuduhan besar bahwa penunjukan akuntan publik tidak melalui proses pengadaan dilontarkan tanpa dilengkapi data faktual maupun dokumen resmi. Lantas angka pendapatan PDAM yang disebut mencapai Rp120 miliar per tahun pun hanya bersandar pada “informasi publik” dan “sumber internal” tanpa verifikasi. Dengan konstruksi seperti itu, wajar jika publik menilai surat ini bukan sebagai instrumen pengawasan, melainkan sekadar opini liar.
Padahal, aturan main sudah jelas. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang juga berlaku dengan penyesuaian pada BUMD, mengamanatkan prinsip dasar : efisien, efektif, transparan, bersaing, adil, dan akuntabel. Permendagri Nomor 118 Tahun 2018 tentang Rencana Bisnis, Anggaran, dan Kerja Sama BUMD bahkan menegaskan kewajiban BUMD untuk menjalankan prinsip good corporate governance (GCG). Jika memang ada pelanggaran, seharusnya pengaduan menyertakan bukti konkrit berupa dokumen kontrak, berita acara penunjukan, atau minimal pengumuman lelang yang bisa diverifikasi. Tanpa itu, tuduhan hanya akan berhenti sebagai retorika.
Selain itu, jalur pengawasan sudah tersedia di tingkat lokal. PDAM Tirta Intan Garut memiliki Dewan Pengawas, sementara DPRD dan Pemkab Garut berwenang melakukan fungsi kontrol. Melompati mekanisme lokal lalu langsung menyurati Kemendagri justru menimbulkan kesan sensasional seakan-akan masalah besar sedang disembunyikan, padahal yang terjadi hanyalah kegagalan membangun argumen berbasis regulasi.
Di titik ini, pengaju aduan yang berada di balik surat itu menjadi sorotan. Mengklaim diri sebagai pengamat, tetapi melayangkan pengaduan tanpa data, hanya akan memperlihatkan wajah pengamat abal-abal. Kritik tanpa dasar bukanlah kontribusi intelektual, melainkan manuver politik murahan yang justru mengaburkan substansi persoalan.
Garut memang membutuhkan kritik, tetapi kritik yang sehat harus berangkat dari kerja serius, menelaah laporan keuangan, menimbang regulasi, dan menyodorkan bukti. Kritik yang demikian akan memperkuat posisi publik dan mendorong perbaikan tata kelola. Sebaliknya, surat kosong semacam ini hanya merusak kredibilitas pengkritik dan berpotensi menjerumuskan dirinya sendiri dalam jerat hukum fitnah atau pencemaran nama baik.
Pada akhirnya, pengaduan yang tidak dilandasi data hanyalah bumerang. Alih-alih memperbaiki PDAM Garut, justru pengadu yang berisiko kehilangan legitimasi moral. Masyarakat Garut berhak mendapat pengawasan yang bermutu, bukan tontonan surat abal-abal dari sosok yang gagal membedakan antara kritik serius dengan gosip politik. *red