Sorotan publik terhadap tata kelola pendidikan di Kabupaten Garut telah mencapai titik kritis. Lukmanul Hakim, Direktur Centang (Centra Transparansi & Akuntabilitas Garut), mendesak Bupati untuk melaksanakan reformasi revolusioner, termasuk pembubaran Korwil Pendidikan, sebagai bagian dari paket pembenahan menyeluruh yang tak bisa ditunda lagi.
Menurut Lukmanul, regulasi seperti Peraturan Bupati Garut Nomor 42 Tahun 2018 memang sudah ada, tetapi implementasinya lemah, sehingga Korwil kerap menjadi pintu masuk pungutan liar. Praktik ini bertentangan dengan prinsip asas legalitas dan akuntabilitas dalam administrasi publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Sistem Pendidikan Nasional. Tanpa kepastian regulasi dipatuhi dan diawasi, hak warga negara atas pendidikan yang layak akan terus terabaikan.
Centang mencatat laporan dari guru dan kepala sekolah tentang berbagai pungutan rutin tanpa dasar hukum, termasuk kontribusi wajib yang terkait jumlah murid sekolah. Praktek seperti ini tidak hanya merugikan sekolah, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Lebih dari itu, publik juga menemukan bahwa gedung baru Kantor Dinas Pendidikan Garut — dibangun dengan anggaran APBD tahun 2024 sebesar sekitar Rp 8,8 miliar — hingga kini belum difungsikan secara penuh. Gedung yang diresmikan pada 3 Februari 2025 oleh Penjabat Bupati justru menimbulkan tanda tanya serius tentang efisiensi anggaran dan transparansi pengadaan.
Dari aspek pembangunan manusia, IPM Garut masih rendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Angka putus sekolah yang menembus 11.000 anak dari sekitar 269.000 siswa SD dan SMP di Garut menunjukkan adanya masalah serius pada akses pendidikan dan pemerataan kualitas.
Sebaliknya, beberapa daerah berhasil menunjukkan praktik baik. Kota Yogyakarta misalnya, dengan IPM 88,03 pada 2024, berhasil menghapus hampir semua pungutan liar dengan memperkuat transparansi BOS (Bantuan Operasional Sekolah) berbasis aplikasi yang bisa dipantau publik secara real-time. Kota Bandung juga menerapkan program Sekolah Gratis bagi SD dan SMP negeri dengan pengawasan ketat dari Inspektorat, serta sistem laporan online agar orang tua dan guru bisa melaporkan dugaan pungli langsung ke Wali Kota. Daerah-daerah ini menunjukkan bahwa birokrasi pendidikan bisa ramping, transparan, dan berorientasi pelayanan tanpa harus membebani masyarakat dengan biaya tambahan yang tidak sah.
Lukmanul menekankan bahwa reformasi di Garut harus diarahkan untuk: memutus mata rantai pungli, merampingkan struktur birokrasi dengan memperkaya fungsi, mereformasi pelayanan pendidikan agar lebih cepat dan akuntabel, serta menaikkan IPM dengan indikator yang nyata. Itu berarti melakukan restrukturisasi, rotasi, dan mutasi pejabat di level kabid dan kasi di Dinas Pendidikan, terutama mereka yang terindikasi bagian dari persoalan mendasar.
Ia juga menyentil soal temuan BPK-RI tahun 2024 yang mewajibkan pengembalian dana sekitar Rp 2,1 miliar oleh belasan kecamatan di Garut. Fakta ini, menurutnya, menunjukkan bahwa lembaga pengawas sudah mengendus adanya pola penyimpangan anggaran publik.
“Bupati Garut jangan ragu, jangan setengah hati. Bila memang serius mereformasi, maka pembubaran Korwil hanyalah permulaan. Perlu ada restrukturisasi menyeluruh, ada efek jera bagi pejabat-pejabat yang ikut memperparah masalah. Tujuannya bukan hanya simbol, tetapi memaksimalkan pelayanan pendidikan agar IPM Garut bisa naik, agar anak-anak yang putus sekolah kembali bersekolah, agar orang tua tak lagi dibebani pungli,” kata Lukmanul.
Publik kini menunggu apakah Bupati Garut berani mengambil langkah-langkah revolusioner yang sudah terbukti berhasil di daerah lain. Jika tidak, ketertinggalan Garut hanya akan semakin menganga, dan dunia pendidikan tetap jadi ladang rente bagi segelintir birokrat.