Garut — Ketika pemerintah pusat berjuang keras menegakkan reformasi pengadaan yang transparan dan kompetitif, Kabupaten Garut justru memilih jalan sunyi: bertahan dalam sistem pengadaan langsung (PL) yang sarat kepentingan.
Di tengah gempuran era digital, birokrasi pengadaan di Garut masih berdansa dengan cara-cara manual — pelan, gelap, dan penuh bisik-bisik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Konstruksi Nasional (ASPEKNAS) Kabupaten Garut, Yayie Sopiyan, menilai situasi ini bukan lagi sekadar keterlambatan teknis, melainkan bentuk perlawanan halus terhadap transparansi.
“Pemerintah pusat sudah jelas: semua transaksi konstruksi wajib lewat Mini Kompetisi di E-Catalog Versi 6. Tapi di Garut, sistem itu seolah hanya jadi hiasan di atas kertas. Yang terjadi di lapangan? Masih main tunjuk-tunjukan, masih main kedekatan. Ini bukan lagi soal birokrasi — ini soal keberanian berubah,” tegas Yayie dalam pernyataannya, Selasa (15/10/2025).
Menurutnya, E-Catalog V6 adalah simbol keadilan baru dalam dunia konstruksi. Sistem ini membuka ruang kompetisi yang sehat dan menghapus budaya “vendor langganan”. Namun sayangnya, di Garut, yang langganan bukan kompetisi — melainkan “kedekatan” dan “akses istimewa”.
“Jujur saja, pengusaha kecil menengah hari ini sudah apatis. Mau daftar, gak bisa. Mau ikut, gak dilirik. Semua sudah disetir. Ini bukan sistem pengadaan, ini sistem pengendalian,” sindirnya pedas.
Yayie menegaskan, kondisi ini bukan hanya mematikan semangat pelaku usaha lokal, tetapi juga menurunkan kualitas pembangunan. Banyak proyek yang molor, kualitas pekerjaan tak terjaga, dan uang publik menguap di balik ruang-ruang rapat yang tak transparan.
“Kalau kita bicara pembangunan Garut, ya harus dimulai dari keberanian menertibkan prosesnya. Jangan biarkan pengadaan jadi arena tawar-menawar di bawah meja,” katanya.
Ia pun mengingatkan bahwa surat LKPP Nomor 18634/D.2.3/08/2025 tanggal 29 Agustus 2025 bukan surat imbauan, melainkan perintah wajib. Dalam surat tersebut disebutkan dengan gamblang bahwa seluruh transaksi pengadaan produk sektor konstruksi melalui Katalog Elektronik harus menggunakan metode Mini Kompetisi.
“Jadi kalau masih ada pejabat di Garut yang menolak atau menunda-nunda, pertanyaannya sederhana: mereka menolak aturan, atau menolak transparansi?” ujar Yayie menggigit.
Ia juga menyoroti bahwa APBD Perubahan (APBD-P) tahun ini di Garut disebut-sebut minim keterbukaan. “Padahal di sinilah letak tantangannya. Kalau Bupati berani dan ingin membuktikan integritas, terapkan E-Catalog V6 sekarang juga. Jangan tunggu tekanan publik makin keras,” ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, Yayie menyebut bahwa transparansi bukan ancaman bagi pejabat, tapi perlindungan. Sistem digital bukan untuk mempermalukan, tapi untuk membersihkan. “Kalau niatnya baik, apa yang ditakutkan? Justru sistem digital bisa jadi tameng bagi pejabat yang bekerja lurus. Tapi kalau banyak yang takut, ya berarti banyak yang tidak lurus,” ucapnya tajam.
ASPEKNAS Garut, kata Yayie, tidak sedang mencari sensasi. Mereka hanya menuntut keadilan yang dijanjikan oleh negara. Dunia usaha, menurutnya, hanya ingin bermain di lapangan yang sama rata. “Kita tidak minta proyek, kita minta kesempatan. Karena dalam sistem yang benar, rezeki ditentukan oleh kemampuan — bukan kedekatan,” tandasnya.
Ia menutup dengan pesan keras untuk Pemerintah Kabupaten Garut: berhentilah bersembunyi di balik alasan teknis. Dunia sudah berubah, dan rakyat menuntut transparansi nyata, bukan jargon. “Garut tak akan maju kalau masih takut terang. Kalau pejabatnya masih nyaman di zona abu-abu, maka masa depan daerah ini akan terus gelap — walau papan proyeknya berkilau.”