Garut — Di balik gegap gempita slogan “Garut Hebat”, tersimpan kenyataan getir yang kian menyesakkan dada pelaku usaha konstruksi lokal. Dari catatan tahunan anggaran daerah, terendus aroma kebocoran yang kian menyengat: sektor konstruksi Garut diduga kehilangan antara 10 hingga 20 persen anggaran setiap tahun. Artinya, dari setiap Rp 100 miliar dana publik yang digelontorkan, Rp 10–20 miliar raib entah ke mana — tanpa jejak, tAhdanpa tanggung jawab.
Ketua GAPKAINDA (Gabungan Pengusaha Konstruksi dan Infrastruktur Daerah) Kabupaten Garut, Andri Barnas, S.H., menilai kebocoran ini bukan semata persoalan teknis, melainkan hasil dari sistem yang sengaja dibiarkan pincang. “Kebijakan pengadaan kita kehilangan ruh keberpihakan. Prosesnya sering tertutup, tidak proporsional, dan terlalu banyak ruang kompromi politik,” ujar Andri.
Menurutnya, akar masalah justru terletak pada penunjukan langsung (PL) yang semakin membengkak dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP, banyak dinas di Garut mengalokasikan porsi besar belanja mereka lewat mekanisme PL, bukan lelang terbuka. Padahal, di sanalah ruang kebocoran paling subur tumbuh. “Ketika sistemnya tertutup, yang terjadi bukan lagi kompetisi, tapi transaksional. Siapa yang mau setor, dia yang dapat proyek. Ini bukan rahasia umum — ini sudah sistem,” tegas Andri.
Lebih jauh, Andri menyoroti bahwa mekanisme penunjukan langsung sebenarnya lahir dari semangat baik. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 mengatur PL sebagai kebijakan afirmatif untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dan UMKM di sektor jasa konstruksi. Tujuannya mulia: agar pengusaha kecil tidak mati oleh dominasi pemain besar. “Masalahnya,” kata Andri dengan nada kritis, “pengusaha kecil yang mana? Apakah mereka yang betul-betul anggota asosiasi resmi, punya tenaga ahli dan alat, atau justru mereka yang hanya jadi perpanjangan tangan oknum birokrat?”
Distribusi proyek PL, lanjutnya, seringkali tidak adil dan diskriminatif. Banyak anggota asosiasi jasa konstruksi di bawah naungan GAPKAINDA yang justru tersingkir, karena proyek dikuasai kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan. “PL ini kan bentuk diskresi politis. Tapi kalau diskresinya jadi alat rente, maka keberpihakan itu palsu. Pemerintah harus berani mengoreksi sistemnya, agar keadilan ekonomi benar-benar sampai ke pengusaha kecil yang sebenarnya,” ucapnya.
Andri menegaskan, kebocoran 10–20 persen anggaran setiap tahun itu bukan takdir — tapi konsekuensi dari kebijakan yang kehilangan nurani publik. Ia menyindir, jargon “Garut Hebat” hanya akan menjadi papan nama kosong jika arah kebijakan masih dijalankan dengan mata tertutup. “Coba bayangkan, kalau Rp 200 miliar anggaran PL itu bocor 20 persen, berarti Rp 40 miliar hilang. Uang sebesar itu bisa memperbaiki jalan di Banjarwangi yang rusak bertahun-tahun, atau membangun puluhan ruang kelas baru di selatan Garut,” ujarnya tajam.
GAPKAINDA, kata Andri, mendesak agar reformasi pengadaan di daerah segera dijalankan. Pemerintah daerah harus memperbesar porsi lelang terbuka, memperluas penggunaan e-Catalog LKPP versi 6 yang sudah jauh lebih transparan, dan memperketat pengawasan terhadap setiap pelaksanaan PL. “Kalau memang tujuannya membina pengusaha kecil, ya bina yang betul-betul pengusaha kecil — bukan mereka yang dipelihara birokrasi untuk jadi kaki tangan proyek,” tutup Andri.
Dan pada akhirnya, apa yang disebut “Garut Hebat” itu tidak akan pernah terwujud di atas pondasi anggaran yang bocor. Sebab sehebat apa pun slogannya, jika setiap rupiah pembangunan dibagi di meja gelap, maka yang tumbuh bukan kemajuan — melainkan kesenjangan, kemarahan, dan kehilangan kepercayaan publik terhadap pemerintahnya sendiri.***











































