Aksi mimbar bebas bertajuk “Panggung Rakyat” yang digelar oleh lebih dari 40 elemen masyarakat Garut di depan Gedung DPRD, Jl. Patriot, Sabtu lalu, mendapat tanggapan keras dari Mukti Arif, Ketua KOPR Alumni KNPI Garut. Ia menilai aksi tersebut bukanlah representasi suara rakyat, melainkan luapan kekecewaan dari pihak-pihak yang kehilangan posisi, privilese, dan pengaruh politik.
“Kalau ini disebut panggung rakyat, maka rakyat yang mana? Jangan-jangan ini hanya panggung luka politik dari mereka yang dulu berada dalam lingkaran kekuasaan dan kini sedang mengalami gejala ‘putus akses’,” tegas Mukti dalam keterangannya, Senin (9/6).
Aksi tersebut menyoroti 100 hari pertama pemerintahan Syakur–Putri dengan berbagai tuntutan: mulai dari kerusakan infrastruktur, pelayan publik, hingga kekhawatiran terhadap keberadaan tambang yang merusak lingkungan. Namun, Mukti justru membalikkan tudingan itu.
“Kalau soal tambang, justru publik harus bertanya: siapa yang selama ini melindungi praktik-praktik destruktif itu? Siapa yang menerbitkan izin? Siapa yang tutup mata saat alam dikeruk tanpa kendali? Jangan sekarang bersih-bersih tangan setelah dulu ikut menggenggam sendok,” ujarnya tajam.
Mukti menyatakan bahwa dirinya bukan bagian dari tim pemerintah, tapi merasa perlu angkat suara karena melihat bagaimana ruang demokrasi mulai dipenuhi “kritik palsu yang dikemas indah tapi berisi racun dendam”.
“Ini bukan kritik. Ini siasat balik panggung dari barisan yang tidak siap kehilangan kontrol. Rakyat butuh perubahan, bukan dramatisasi politik murahan,” ujarnya.
Sebagai aktivis yang sudah malang melintang di dunia gerakan sejak era 1998, Mukti menilai bahwa aksi semacam ini harus diuji motif dan etikanya. Menurutnya, sangat tidak etis jika mereka yang dulu memegang kendali dan tak berbuat apa-apa kini tampil seolah menjadi juru bicara rakyat.
“Saya hormati semangat mimbar bebas. Tapi jangan bawa bendera rakyat kalau isinya hanya kekecewaan pribadi. Kalau memang masih cinta Garut, mari kawal bersama, bukan bakar panggungnya karena kita tak lagi duduk di belakang layar,” katanya.
Terkait 100 hari pertama pemerintahan Bupati Syakur Amin dan Wakil Bupati Putri Karlina, Mukti menilai justru sedang ada proses penataan ulang birokrasi, pembongkaran warisan kebijakan buruk, dan pemulihan ruang publik yang selama ini disumbat oleh kepentingan eksklusif.
“Pemerintahan ini baru mulai membuka gembok-gembok lama yang selama ini dikunci rapi oleh segel kelompok tertentu. Wajar kalau yang biasa pegang kunci sekarang ribut,” kata Mukti sinis.
Ia juga mengomentari narasi “rakyat kecewa” yang dibawa dalam aksi. Menurutnya, istilah tersebut terlalu menyamaratakan dan bahkan bisa menyesatkan publik.
“Kalau rakyat kecewa, tunjukkan rakyat yang mana. Jangan pakai rakyat sebagai tameng untuk memoles amarah pribadi. Jangan gunakan kata suci untuk kepentingan sempit,” ujarnya.
Sebagai penutup, Mukti mengajak semua pihak untuk tidak membajak ruang publik demi agenda-agenda masa lalu. Ia mengajak kelompok sipil, mahasiswa, dan seluruh warga Garut untuk tetap kritis, tapi juga adil dan jujur dalam melihat konteks.
“Kalau kalian memang ingin bangun Garut, mari duduk di meja yang sama. Tapi kalau cuma ingin rusak meja karena tak dapat kursi, jangan ajak rakyat sebagai umpan. Rakyat sekarang sudah cerdas,” tutupnya.