Khutbah Iftitah yang disampaikan oleh KH R Amin Muhyiddin Maolani pada Konfercab ke-10 PCNU Garut membawa pesan mendalam tentang urgensi berjam’iyah dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU). Pidato tersebut tidak hanya menjadi pengingat akan nilai-nilai dasar NU, tetapi juga relevan dengan tantangan sosial-keagamaan yang dihadapi masyarakat di era modern. Lima urgensi yang disampaikan oleh Kiai Amin menggugah kesadaran kolektif tentang bagaimana NU harus memposisikan diri di tengah perubahan zaman.
Menurut Galih F Qurbany, Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Cabang Garut, pidato KH Amin bukan sekadar pengulangan prinsip dasar NU, melainkan sebuah panggilan kontekstual terhadap realitas sosial yang dihadapi masyarakat Garut dan Indonesia saat ini. “Jika kita cermati, apa yang disampaikan Kiai Amin sangat erat dengan kebutuhan kita saat ini. NU bukan hanya menjaga akidah, tapi juga menjaga keberlangsungan sosial dan ekonomi umat dalam dunia yang semakin kompleks,” ujar Galih.
Kiai Amin dalam khutbahnya menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Prinsip ini menjadi semakin relevan di tengah fenomena masyarakat yang kian terfragmentasi akibat disrupsi teknologi. Individualisme yang lahir dari budaya media sosial menjadikan manusia lebih mudah terhubung secara virtual, namun ironisnya, semakin jauh dalam interaksi sosial nyata. Galih menilai bahwa NU, dengan semangat jam’iyahnya, dapat menjadi penghubung kembali relasi sosial yang mulai terkikis. “NU memiliki jaringan sosial berbasis kekeluargaan yang kuat. Jika dimaksimalkan, bisa menjadi kekuatan untuk menjaga kohesi sosial,” tambahnya.
Dalam Islam, pentingnya menjaga silaturahim dan hubungan sosial telah ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
“Man kaana yu’minu billaahi wal-yaumil aakhiri falyasil rahimahu” (Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung tali silaturahim) — (HR. Bukhari dan Muslim).
NU, melalui konsep jam’iyah, bukan hanya menjaga akidah, tetapi juga menjadi jembatan dalam memperkuat hubungan sosial di tengah masyarakat.
Urgensi memperjuangkan akidah Islamiyah dalam pidato KH Amin juga mendapatkan sorotan khusus dari Galih. Menurutnya, di tengah maraknya informasi digital, masyarakat membutuhkan bimbingan untuk memahami akidah secara benar. Paham-paham ekstrem yang memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan narasi intoleransi menjadi tantangan nyata. NU, dengan prinsip tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleransi), dapat menjadi penyejuk di tengah panasnya arus informasi yang memecah belah umat.
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
“Inna al-‘ilma bitta’allum, wa innama al-fiqha bitta-faqquh.”
(Ilmu itu diperoleh dengan belajar, dan fiqih itu dipahami dengan mendalami).
Prinsip ini menegaskan bahwa NU perlu memperkuat literasi keagamaan berbasis digital agar generasi muda mendapatkan pemahaman akidah yang komprehensif. “Pendidikan akidah berbasis digital harus menjadi prioritas. Kita tidak bisa hanya bertumpu pada metode konvensional, harus ada upaya masuk ke ruang-ruang digital yang diakses anak muda,” jelas Galih.
Selain itu, penyebaran paham Ahlussunnah wal Jamaah yang disinggung dalam khutbah tersebut menegaskan kembali pentingnya persatuan dalam keberagaman. Kiai Amin mengingatkan tentang peran sahabat Nabi dalam menjaga dan menyebarkan risalah Islam, di mana prinsip ta’aruf (saling mengenal) dan tafahum (saling memahami) menjadi fondasi. Galih memaknai hal ini sebagai tantangan bagi NU untuk lebih membuka diri terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk generasi muda yang semakin kritis. “NU harus menjadi rumah besar yang ramah bagi anak muda, dengan memberikan ruang partisipasi dan inovasi. Jika tidak, kita akan kehilangan generasi penerus,” ujarnya.
Dalam konteks pembangunan ekonomi, pidato KH Amin mengenai kekuatan civil society menjadi relevan dengan kondisi ekonomi Garut yang masih diwarnai kesenjangan. Galih, sebagai Ketua LPNU, menekankan bahwa NU harus menjadi penggerak kemandirian ekonomi umat. “NU tidak boleh hanya menjadi penjaga akidah, tapi juga penjaga kesejahteraan umat. Dengan basis jaringan struktural yang sudah mapan, kita harus mendorong lahirnya inisiatif-inisiatif ekonomi berbasis komunitas,” jelasnya.
Dalam sebuah hadis sahih dijelaskan:
“At-tujjaru hum as-shidiquuna wal-umanaa.”
(Pedagang yang jujur dan amanah akan dibangkitkan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada) — (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menjadi penguat pentingnya NU memajukan sektor ekonomi berbasis keumatan secara jujur dan amanah, agar ekonomi umat semakin kokoh dan berdaya saing.
Menurut Galih, pidato KH Amin sejalan dengan kebutuhan penguatan ekonomi berbasis pesantren. Garut memiliki banyak pondok pesantren yang jika dimobilisasi secara kolektif dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis keumatan. NU, dengan lembaga-lembaga ekonominya, dapat mengembangkan sektor-sektor potensial seperti pertanian, UMKM, dan pariwisata halal. “Pondok pesantren bisa menjadi pusat produksi dan distribusi berbagai komoditas. Dengan begitu, keberkahan ilmu di pesantren juga berimbas pada keberkahan ekonomi masyarakat,” tambah Galih.
KH Amin menutup khutbahnya dengan ajakan untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip NU, yaitu tasamuh, tawasuth, tawazun, dan i’tidal. Prinsip-prinsip ini, menurut Galih, adalah jawaban atas fenomena polarisasi yang kini mengancam persatuan bangsa. Dalam hadis Nabi disebutkan:
“Man laa yarhamunnaas laa yurham.”
(Barang siapa yang tidak menyayangi manusia, dia tidak akan disayangi) — (HR. Bukhari dan Muslim).
Prinsip kasih sayang dan toleransi yang dijaga NU sejalan dengan pesan Rasulullah dalam menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman.
“Jika prinsip-prinsip ini terus dibumikan dalam kehidupan sosial, NU akan tetap menjadi jangkar yang menjaga stabilitas sosial di tengah riuh rendah perbedaan,” pungkas Galih.
Pidato KH Amin Muhyiddin Maolani bukan sekadar pengingat bagi warga NU untuk terus berkhidmat. Lebih dari itu, pidato ini menjadi panduan strategis untuk merespons perubahan zaman. NU, dengan warisan nilai-nilai dan kekuatan organisasinya, diharapkan terus hadir sebagai penjaga akidah, penguat solidaritas sosial, dan penggerak ekonomi keumatan di era modern.
Di akhir tulisan ini, kami mengucapkan selamat kepada Pengurus PCNU Garut masa bakti 2025–2030 yang kembali dipimpin oleh KH Rd Amin Muhyiddin Maolani sebagai Rois Syuriah dan KH Drs. Aceng Abdul Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Semoga di bawah kepemimpinan beliau, NU Garut semakin maju, solid, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi kemaslahatan umat, serta terus istiqamah dalam menjaga dan merawat NKRI.***