Oleh : Galih F. Qurbany
Di tengah arus besar liberalisasi ekonomi, ketika desa-desa semakin terjajah secara struktural oleh praktik monopoli distribusi dan ketergantungan terhadap kapital eksogen, keputusan Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, untuk membentuk 421 Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebelum Juli 2025 patut dimaknai bukan sebagai kebijakan administratif semata, melainkan sebagai gerakan ekonomi-politik yang bernapas ideologis. Di balik instruksi pembentukan koperasi tersebut, terselip gagasan besar: menghadirkan kembali koperasi sebagai “institusi perlawanan” terhadap dominasi struktur ekonomi oligarkis yang menggurita dari pusat ke pinggiran.
Kita hidup di zaman ketika desa kehilangan kendali atas hasil buminya sendiri. Petani menanam, tetapi yang menentukan harga adalah tengkulak. Nelayan melaut, tetapi yang menguasai distribusi adalah kartel ekspor. Kebutuhan hidup rakyat kecil—pupuk, sembako, air bersih, bahkan akses modal—semuanya dipertaruhkan di pasar bebas yang tak pernah memihak. Dalam ekosistem semacam itu, koperasi bukan sekadar lembaga ekonomi. Ia adalah jalan keluar dari apa yang oleh para pemikir pascakolonial disebut sebagai “penjajahan dalam bentuk baru”—neo-kolonialisme ekonomi.
Langkah Bupati Garut harus dibaca dalam kerangka reclaiming the village economy. Dalam tradisi ekonomi kerakyatan Indonesia, koperasi tidak hanya berperan sebagai entitas produktif atau distribusional, tetapi juga sebagai arena demokrasi ekonomi. Bung Hatta pernah menegaskan, koperasi bukan sekadar alat ekonomi, melainkan “alat perjuangan untuk memperbaiki nasib rakyat kecil.” Gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan sebagai respons terhadap eksploitasi sistemik kolonialisme ekonomi Hindia Belanda yang menghisap tenaga kerja dan sumber daya desa secara masif.
Namun hari ini, tantangan yang dihadapi lebih kompleks. Bukan hanya korporasi transnasional yang mengancam kedaulatan ekonomi desa, tetapi juga lembaga-lembaga pseudo-ekonomi di level lokal yang hanya menjadi perpanjangan tangan dari sistem rente dan praktek pemburu rente (rent-seeking behaviour). Maka dari itu, koperasi desa tidak boleh didirikan semata-mata karena kewajiban formal atau target seremonial. Ia harus dilahirkan sebagai institusi rakyat yang tumbuh dari akar kesadaran kolektif masyarakat. Sebab tanpa partisipasi sadar dan rasa memiliki dari masyarakat, koperasi hanya akan menjadi zombie administratif—hidup di atas kertas, mati dalam praktik.
Koperasi yang dicanangkan di Garut tidak berdiri dengan tangan kosong. Masing-masing unit Kopdes Merah Putih dirancang untuk mendapatkan suntikan dana antara 3 hingga 5 miliar rupiah. Ini adalah angka yang sangat potensial. Secara teoritik, suntikan modal dalam skala ini bisa menjadi triggering capital bagi terjadinya siklus ekonomi baru di tingkat lokal. Ia bisa memperkuat rantai produksi lokal, meningkatkan daya beli warga desa, mengembangkan pusat distribusi berbasis komunitas, serta menciptakan diversifikasi ekonomi berbasis kearifan lokal.
Tetapi modal bukanlah segalanya. Dalam diskursus pembangunan partisipatif, terdapat peringatan penting: development without conscientization is mere administration. Artinya, pembangunan tanpa kesadaran kritis hanya akan melahirkan birokratisasi tanpa jiwa. Maka kunci utama agar Kopdes Merah Putih benar-benar hidup bukanlah pada jumlah modal yang ditransfer, melainkan pada kapasitas sosial-politik warga untuk mengelola, menjaga, dan memaknai koperasi tersebut sebagai ruang perjuangan ekonomi bersama.
Di titik ini, koperasi harus menjadi ruang pendidikan rakyat (popular education space). Ia harus menjadi pusat literasi keuangan, produksi, distribusi, hingga advokasi ekonomi desa. Ia harus menyadarkan warga bahwa harga gabah bukan ditentukan pasar bebas, melainkan ditentukan oleh siapa yang menguasai distribusi. Bahwa kelangkaan pupuk bukan karena gagal impor, tapi karena ada mafia distribusi. Dan bahwa harga telur naik-turun bukan karena hukum pasar, tetapi karena dominasi kartel pangan yang mengatur pasokan.
Dengan membangun koperasi, desa sesungguhnya sedang menegakkan kembali kedaulatannya. Sebab dalam koperasi, keputusan ekonomi tidak dibuat oleh direksi yang tak dikenal, tetapi oleh rapat anggota yang setara. Dalam koperasi, surplus tidak dinikmati oleh pemilik modal semata, tetapi dikembalikan kepada seluruh anggota. Dan dalam koperasi, pembangunan tidak hanya berarti pertumbuhan ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan. Inilah esensi dari demokrasi ekonomi yang selama ini hilang dari kerangka pembangunan desa yang terlalu terfokus pada infrastruktur.
Tentu, koperasi bukan lembaga tanpa masalah. Sejarah mencatat banyak koperasi runtuh karena korupsi internal, manajemen buruk, atau sekadar dijadikan alat politik oleh elite desa. Karena itu, pendirian Kopdes Merah Putih harus dibarengi dengan institutional integrity, sistem audit terbuka, partisipasi warga yang luas, dan pelatihan manajerial yang berkelanjutan. Tanpa itu, koperasi akan menjadi ladang baru bagi persekongkolan elite desa dengan kepentingan rente.
Namun jika semua prasyarat itu terpenuhi, maka koperasi bisa menjadi engine of local empowerment. Ia bisa menumbuhkan ekonomi desa secara organik, memperkuat solidaritas sosial, dan membangun ekonomi alternatif yang tidak tunduk pada kapitalisme predator. Inilah harapan besar dari program Kopdes Merah Putih: menjadikan desa bukan hanya sebagai objek pembangunan, tetapi subjek ekonomi baru yang mampu mengoreksi ketimpangan struktural.
Dan di sinilah letak pentingnya kesadaran. Rakyat desa harus sadar bahwa koperasi adalah miliknya. Bahwa keberhasilannya adalah keberhasilan kolektif. Bahwa kegagalannya adalah cermin dari rendahnya partisipasi dan lemahnya kontrol sosial. Maka dari itu, pembentukan koperasi harus disertai dengan gerakan penyadaran massif, bukan hanya sosialisasi teknis. Karena perubahan sosial hanya terjadi ketika rakyat mulai peduli, bukan ketika pejabat mulai bicara.
Bupati Garut telah membuka jalan. Kini saatnya rakyat melangkah. Bukan dengan seremonial, tapi dengan semangat perjuangan. Karena koperasi, sejak awal, bukan hanya soal ekonomi. Ia adalah bentuk perlawanan. Dan hari ini, perlawanan itu bernama: Kopdes Merah Putih.***
Penulis adalah : Pengamat Kebijakan Informasi Strategi ,PAKIS