Ada pertanyaan sederhana yang harus kita ajukan kepada diri sendiri sebagai tenaga kesehatan: apakah pasien merasa dimanusiakan saat datang ke rumah sakit kita? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan menjadi penentu apakah pelayanan kesehatan yang kita berikan hanya sekadar prosedural atau sungguh menyentuh sisi terdalam dari apa yang disebut kemanusiaan.
Sebagai seorang dokter spesialis patologi klinik, saya bekerja di balik layar. Saya membaca data, menganalisis angka, dan menyiapkan hasil laboratorium dalam proses validasi dan verifikasi dalam rangka menegakkan diagnosis bahkan bisa jadi sebagai penentu diagnosis penyakit. Serangkaian angka dan data yang tersaji bukanlah hanya sekedar nilai acak semata atau hanya berarti secara statistik. Namun, Mereka adalah fragmen dari kisah manusia dan bahasa tubuh yang tersembunyi. Semakin saya cermati di balik setiap hasil darah , urin, maupun cairan tubuh lainnya ada keresahan, harapan, ketakutan, dan pergulatan hidup.
Namun sayangnya, sistem pelayanan kesehatan kita saat ini di rumah sakit publik khususnya seringkali terlalu fokus pada penyakit dan memperlakukan pasien sebagai kasus, bukan sebagai manusia secara utuh. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat pemulihan, tetapi sering terasa seperti institusi administratif yang mencekam. Pasien sering kali harus berhadapan dengan birokrasi yang kaku, pelayanan yang dingin, serta komunikasi yang terbatas. Ini bukan hanya soal fasilitas atau anggaran, melainkan soal paradigma.
Sudah waktunya kita mengganti paradigma itu. Person-Centered Care (PCC) atau pelayanan yang berpusat pada pasien sebagai manusia utuh, harus menjadi inti dari transformasi pelayanan kesehatan kita. Bukan karena itu tren global, melainkan karena itu kebutuhan dasar masyarakat.
PCC bukan sekadar menyapa pasien dengan senyum. Ia adalah perubahan cara berpikir yang radikal: bahwa pasien bukan hanya objek yang “diobati”, tetapi mitra aktif yang harus dilibatkan, dihormati, dan dipahami dalam keseluruhan proses perawatan. Ia membawa nilai-nilainya sendiri, preferensi hidupnya, latar sosialnya, emosinya, dan tentu, hak untuk menentukan arah perawatan yang ia jalani.
Sebagai Ketua Komite Mutu RSUD dr. Slamet Garut, saya bersentuhan langsung dengan banyak indikator nasional mutu pelayanan, mulai dari penanganan komplain, kepuasan masyarakat, hingga efektivitas komunikasi antar tenaga medis dan pasien. Dari pengalaman ini, saya melihat satu pola yang terus berulang: ketidakpuasan pasien hampir selalu bermula dari kegagalan dalam membangun hubungan yang empatik.
Pasien tidak semata kecewa karena antrean panjang atau obat habis. Mereka kecewa karena merasa tidak didengarkan, tidak dihargai, dan tidak dilibatkan. Ketika pasien merasa diperlakukan sebagai nomor antrean, bukan sebagai pribadi, maka seluruh sistem pun kehilangan rohnya.
Itulah sebabnya, pelayanan berbasis PCC mampu membawa perubahan besar. Ketika pasien diajak berdiskusi, ketika keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan medis, dan ketika tenaga kesehatan menunjukkan empati yang tulus, maka hal-hal ajaib terjadi: pasien menjadi lebih patuh terhadap terapi, kepercayaan meningkat, dan bahkan risiko kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) bisa ditekan secara signifikan.
Transformasi ini bukan mimpi muluk. Banyak negara sudah membuktikannya. Kita hanya perlu keberanian untuk memulai, bukan dengan proyek besar-besaran, tetapi dari cara kita berbicara kepada pasien, cara kita mendengarkan keluh kesah keluarga mereka, hingga cara kita merespons komplain sebagai peluang perbaikan, bukan ancaman reputasi.
Saya menyadari bahwa rumah sakit adalah institusi yang kompleks. Banyak tenaga medis bekerja dalam tekanan, kekurangan SDM, dan dibebani laporan administratif yang menumpuk. Tetapi jika kita terus menormalisasi layanan yang dingin dan kaku dengan alasan “sudah begini dari dulu” atau “biasanya seperti ini”, maka kita akan gagal memenuhi esensi dari profesi ini: melayani kehidupan.
Saya tidak sedang berkhutbah dari menara gading. Saya sendiri adalah bagian dari sistem yang perlu terus dikritisi dan diperbaiki. Dan karena itulah saya menulis ini. Sebagai dokter, sebagai pemimpin mutu rumah sakit, sekaligus sebagai seorang ibu, pegiat seni, pemerhati anak-anak berkebutuhan khusus, dan profesional yang menaruh minat pada dunia hukum dan kewirausahaan sosial, saya melihat pelayanan kesehatan sebagai lahan yang sangat kaya—bukan hanya untuk menyembuhkan tubuh, tetapi juga membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Kita harus mulai mengakui bahwa keberhasilan pelayanan rumah sakit tidak cukup diukur dari jumlah pasien yang dilayani atau pendapatan yang dikumpulkan. Ia harus dinilai dari berapa banyak pasien yang merasa dihargai, berapa banyak keluarga yang pulang dengan kelegaan, dan berapa banyak keluhan yang berhasil kita jawab dengan hati terbuka.
Maka izinkan saya mengajak para pemangku kepentingan di bidang kesehatan, baik di pusat maupun daerah: mari kita arahkan ulang kebijakan, pelatihan, sistem informasi, dan SPO rumah sakit ke arah yang lebih berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Mari kita berhenti mengagungkan efisiensi, jika itu membuat kita kehilangan empati. Mari kita kembalikan layanan kesehatan sebagai ruang perjumpaan antarmanusia—dengan segala kerentanannya, harapannya, dan martabatnya.
Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Jika bukan kita yang memulai, siapa?
Karena tak ada sistem yang terlalu rumit untuk diperbaiki, jika niat kita tulus: memanusiakan manusia dalam pelayanan kesehatan.***