Headline yang menyebut “PKBM fiktif dan IPM jeblok, Garut Hebat hanya slogan kosong” memang seksi untuk dikonsumsi publik. Tetapi, apakah ia mencerminkan keseluruhan realitas? Atau sekadar framing politis yang menutup mata pada fakta-fakta pembenahan? Kritik tanpa data sering kali jatuh pada propaganda, sementara analisis berbasis data justru membuka ruang solusi.
Mari kita bicara data. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, IPM Garut tahun 2024 mencapai 69,21. Angka ini memang rendah, menjadikan Garut berada di peringkat 26 dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat—hanya sedikit lebih baik dari Cianjur (68,89). Bandingkan dengan rata-rata IPM Provinsi Jawa Barat yang mencapai 74,92. Ya, gap itu nyata, Garut memang tertinggal. Tetapi, apakah stagnan? Tidak.
Faktanya, IPM Garut tahun 2022 berada di angka 67,41, naik menjadi 68,11 pada 2023, dan kembali naik ke 69,21 pada 2024. Ada kenaikan rata-rata 0,8 poin per tahun. Kenaikan ini justru lebih cepat dibandingkan beberapa daerah lain yang sudah mapan. Artinya, Garut sedang mengejar ketertinggalan, meski dari basis rendah. Apakah ini pantas disebut “jeblok”? Justru ada tren membaik. Kata “jeblok” adalah istilah emosional, bukan terminologi statistik.
Mari kita bedah lebih jauh komponen IPM. Ada tiga indikator utama: Laju Harapan Hidup (LHH), Laju Harapan Sekolah (LHS), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), serta dimensi pendapatan per kapita.
Laju Harapan Hidup (LHH) Garut 2024: 72,01 tahun (naik dari 71,88 di 2023, meski di bawah rata-rata Jabar 73,16).
Laju Harapan Sekolah (LHS) Garut 2024: 12,84 tahun (setara kelas XI SMA, naik dari 12,50 tahun di 2022; masih di bawah rata-rata Jabar 14,03 tahun).
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Garut 2024: 7,75 tahun (setara kelas I SMP, naik dari 7,52 di 2022; rata-rata Jabar 9,04 tahun).
Pendapatan per Kapita (PPP) Garut 2024: Rp 12,9 juta/tahun, naik dari Rp 12,3 juta pada 2023, meski tertinggal dari rata-rata Jabar Rp 17 juta.
Data ini menegaskan: Garut memang masih lemah dalam kualitas SDM, tetapi tren positif ada dan harus dibaca dengan jernih.
Apa yang Sudah Dilakukan Bupati Syakur Amin?
Pertama, pembenahan sektor pendidikan formal. Angka Partisipasi Murni (APM) SD Garut 2023 sudah mendekati universal, 97,97%, tetapi APM SMP hanya 79,9%. Karena itu, Bupati Syakur Amin mengeluarkan instruksi kepada seluruh kepala desa untuk mendata anak-anak usia SMP yang tidak melanjutkan sekolah. Langkah ini adalah bentuk micro-policy: intervensi berbasis desa untuk menutup kebocoran pendidikan di level paling rawan.
Kedua, penertiban PKBM fiktif. Setelah terbongkarnya penyimpangan Rp 50 miliar dana BOS PKBM, Bupati memerintahkan Dinas Pendidikan bersama Inspektorat dan DPRD membentuk tim verifikasi dan audit menyeluruh. PKBM yang terbukti fiktif akan dicabut izinnya, sementara pengelola yang bermain dana akan diproses hukum. Dengan begitu, PKBM tidak lagi menjadi “ladang rente”, melainkan kembali ke khitahnya sebagai pusat belajar masyarakat.
Ketiga, kolaborasi dengan perguruan tinggi. Pada 2024, Pemkab Garut menandatangani kerja sama dengan belasan universitas di Jawa Barat untuk memperkuat riset, inovasi, dan transfer pengetahuan ke masyarakat Garut. Langkah ini penting, karena salah satu faktor rendahnya IPM adalah keterbatasan akses ke pendidikan tinggi. Dengan adanya kampus satelit, program KKN tematik, dan riset berbasis lokal, maka kualitas SDM bisa didorong dari basis akademik.
Keempat, penguatan layanan kesehatan dasar. Laju Harapan Hidup (LHH) Garut meningkat seiring perbaikan layanan puskesmas, program gizi untuk ibu-anak, serta kampanye stunting yang lebih agresif. Pemkab juga menambah tenaga kesehatan kontrak di wilayah terpencil, agar layanan kesehatan tidak lagi tersentral di perkotaan.
Kelima, pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Pendapatan per kapita Garut memang masih rendah. Karena itu, program Garut Produktif digulirkan melalui akses permodalan UMKM, revitalisasi pasar tradisional, dan penguatan produk unggulan lokal seperti kopi Garut, dodol, dan fesyen kulit Sukaregang. Tujuannya sederhana: menaikkan pendapatan keluarga, yang secara langsung berpengaruh pada kualitas pendidikan dan kesehatan anak.
Apa yang Akan Dilakukan ke Depan?
Pertama, roadmap peningkatan IPM. Pemerintah menargetkan IPM Garut menembus 73–74 pada 2029, dengan rata-rata kenaikan minimal 0,8 poin per tahun. Strateginya: menekan angka putus sekolah SMP, memperluas beasiswa SMA/SMK, dan memperbanyak program literasi berbasis desa.
Kedua, reformasi PKBM. Sistem pengelolaan PKBM akan berbasis digital tracking dengan NIK peserta, sehingga PKBM fiktif sulit lagi muncul. BOS PKBM akan berbasis kinerja, bukan hanya kuota peserta.
Ketiga, percepatan penanganan stunting dan gizi buruk. Targetnya, prevalensi stunting Garut turun di bawah 14% pada 2026, sejalan dengan target nasional. Ini akan berdampak langsung pada kualitas Laju Harapan Hidup (LHH).
Keempat, perluasan akses pendidikan tinggi. Pemkab mendorong pendirian community college atau akademi vokasi berbasis industri lokal di Garut, agar anak-anak tidak perlu merantau hanya untuk kuliah.
Kelima, optimalisasi ekonomi digital dan pariwisata. Dengan kekayaan alam Garut, sektor pariwisata akan menjadi growth engine baru. Jika pendapatan masyarakat naik, maka dimensi pendapatan per kapita dalam IPM otomatis terdongkrak.
Antitesis untuk Framing Slogan Kosong
Framing “Garut Hebat slogan kosong” gagal membaca dialektika kebijakan. Garut Hebat bukan mantra yang otomatis melahirkan keajaiban. Ia adalah visi yang sedang dibangun melalui koreksi kelembagaan, audit program, penguatan data, perbaikan layanan dasar, dan kolaborasi multi-sektor.
Naiknya IPM, meski pelan, adalah indikator bahwa pembenahan berjalan. Apakah cukup? Jelas belum. Tetapi menyebutnya nihil sama saja dengan menolak fakta.
Karena itu, tantangan kita bukan hanya membongkar PKBM fiktif atau mengeluhkan IPM rendah, melainkan mengawal proses pembenahan agar Garut tidak hanya naik angka, tetapi juga naik martabat. Kritik boleh pedas, tetapi harus mencerahkan—bukan menutup harapan dengan stigma murahan.***