FaktaPasundan.id – Garut : Gagasan memungut royalti musik dari restoran, kafe, pub, bazar, hingga warung kopi mungil, seolah ingin menegakkan hak pencipta lagu. Aturannya indah di atas kertas: setiap pemutaran lagu adalah bentuk pemanfaatan karya cipta yang harus dihargai. Semua orang sepakat bahwa pencipta lagu layak mendapatkan bayaran yang adil. Tetapi yang menjadi persoalan besar adalah: benarkah uang yang dipungut itu sampai ke pencipta, atau justru berbelok menjadi “pajak gelap” yang mengalir entah ke mana?
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) selalu mengulang narasi bahwa mereka hanya perpanjangan tangan untuk mengumpulkan dan membagikan royalti. Konon, 90 persen dana harus disalurkan ke pencipta atau pemegang hak terkait. Pertanyaannya sederhana: mana buktinya? Mana daftar nama pencipta yang menerima, berapa jumlahnya, dan berdasarkan lagu apa? KADIN Garut mempertanyakan mengapa selama ini para pencipta yang kami kenal—dari musisi lokal hingga pencipta lagu nasional—mengaku tidak pernah menerima sepeser pun dari skema ini. Apakah mereka tak terdata? Atau memang distribusinya hanya berputar di lingkaran tertentu yang tak pernah dibuka ke publik?
Di Garut, ratusan pengusaha kuliner, dari kafe minimalis dengan belasan kursi hingga restoran keluarga, bekerja mati-matian untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin padat. Margin keuntungan mereka sering kali tipis, kadang hanya cukup untuk gaji karyawan dan ongkos sewa. Kini, mereka dihadapkan pada kewajiban membayar royalti—Rp60 ribu per kursi per tahun untuk resto dan kafe—meski pengunjung sepi. Bagi bisnis besar di kota metropolitan, mungkin ini tak seberapa. Tapi bagi pelaku usaha kecil di daerah, angka itu adalah beban nyata yang tak bisa diabaikan.
Apalagi, dalam situasi pasca-pandemi dan perlambatan ekonomi, pengusaha lokal masih bergulat dengan biaya listrik yang merangkak naik, pajak daerah, retribusi, hingga ongkos bahan baku yang semakin gila-gilaan. Menambahkan pungutan baru atas nama royalti musik sama saja menekan nafas terakhir para pelaku usaha kecil. Lebih ironis lagi, jika setelah membayar pun, mereka tak pernah tahu uang itu benar-benar jatuh ke tangan pencipta lagu.
LMKN mengatakan, memutar lagu apapun—bahkan suara burung yang direkam—tetap wajib membayar royalti. Alasan mereka: itu hak eksklusif yang diatur UU Hak Cipta. Tapi dalam praktiknya, siapa yang mengaudit data lagu yang benar-benar diputar di resto atau kafe kecil di Garut? Apakah lagu-lagu lokal, musik tradisional, atau rekaman bebas royalti juga dikenai pungutan? Jika semuanya dipukul rata, berarti ini bukan lagi soal melindungi pencipta, tapi lebih dekat kepada pungutan tanpa parameter yang jelas.
KADIN Garut memandang, aturan ini akan menciptakan efek berantai yang kontraproduktif. Pertama, banyak pengusaha akan memilih mematikan musik sama sekali. Ruang-ruang publik akan kehilangan atmosfernya, interaksi menjadi kaku, dan karya musik kehilangan panggung promosi yang selama ini justru gratis dinikmati oleh pencipta. Kedua, sektor event kecil seperti bazar UMKM, pameran seni lokal, hingga pertunjukan gratis akan terbebani biaya tambahan. Alih-alih menghidupkan industri kreatif, aturan ini justru bisa mematikan inisiatif lokal yang baru tumbuh.
Lebih berbahaya lagi, aturan yang dipaksakan tanpa transparansi ini akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga pengelola hak cipta. Publik tidak alergi pada kewajiban membayar jika ada kepastian manfaat. Tetapi ketika penerima manfaat—dalam hal ini pencipta lagu—tidak bisa menunjuk bukti nyata uangnya sampai ke tangan mereka, kepercayaan itu runtuh. Dan saat trust hilang, pungutan apapun akan dianggap sebagai “pajak gelap” yang legal secara teks, tapi cacat secara moral.
Sudah saatnya LMKN membuka diri terhadap audit independen yang dipublikasikan secara berkala. Harus ada daftar resmi pencipta penerima royalti lengkap dengan nominal dan periode pembayarannya. Data lagu yang diputar harus terekam dan diverifikasi, bukan sekadar asumsi. Tanpa itu, aturan ini hanya akan menjadi alasan baru untuk memungut uang dari pelaku usaha yang sudah payah, sementara tujuan mulia melindungi pencipta hanyalah retorika.
KADIN Garut mendukung penuh hak cipta dan perlindungan karya. Tetapi perlindungan itu harus dibangun di atas fondasi transparansi, akurasi data, dan proporsionalitas beban. Pungutan royalti harus mempertimbangkan skala usaha dan kemampuan bayar, bukan sekadar menghitung kursi atau meter persegi. Dan yang terpenting, setiap rupiah yang dikumpulkan harus bisa dilacak jejaknya hingga ke tangan pencipta lagu yang sah.
Kalau LMKN benar-benar serius menegakkan hak cipta, mulailah dari memperbaiki kredibilitasnya. Jangan biarkan publik bertanya-tanya, ke mana larinya 90 persen dana yang katanya untuk pencipta. Karena selama jawaban itu belum ada, wajar jika pelaku usaha menolak membayar, bukan karena anti musik, tetapi karena tidak
mau menjadi korban pungutan yang samar antara perlindungan karya dan pajak gelap. *Red : Yuyus