Selama satu dekade terakhir, Kabupaten Garut seolah-olah tersandera dalam lingkaran masalah yang tak berujung, di bawah kepemimpinan Rudy Gunawan dan Helmi Budiman. Dua periode memimpin, tetapi janji-janji yang dulu dihembuskan hanya tinggal angin lalu, tanpa wujud nyata. Wa Ateng, aktivis pendukung pasangan calon nomor 02 dalam Pilkada 2024, tanpa ragu mengkritisi kondisi pembangunan yang tak kunjung membaik. “Mereka bicara soal pembangunan merata, padahal kenyataannya cuma merata di pusat kota. Wilayah selatan? Jangan mimpi! Terlupakan begitu saja,” ujarnya dengan nada penuh sarkasme.
Tengok saja masalah paling mendasar: tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data terbaru, sekitar 10,6% penduduk Garut masih berkutat dalam kemiskinan. Ini bukan angka yang patut dibanggakan, apalagi kalau melihat potensi besar yang ada. Upaya menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Hasilnya? Sebatas Rp 500 miliar, itupun setengahnya harus dikembalikan ke rumah sakit karena pendapatan terbesar datang dari sektor kesehatan. “Apa ini yang disebut sukses menaikkan PAD? Sepertinya mereka lupa, pertanian dan pariwisata juga punya potensi, tapi siapa peduli. Yang penting anggaran stadion tercukupi, kan?” ujar Wa Ateng dengan nada sarkastik yang tajam.
Potensi besar di sektor pertanian dan pariwisata, yang seharusnya jadi tambang emas, justru terabaikan. Pajak hotel dan restoran? Tidak dikelola dengan baik. “Lahan subur melimpah, destinasi wisata menarik, tapi sayang, cuma jadi dekorasi kampanye yang indah di spanduk tanpa arah kebijakan yang jelas. Potensinya di mana-mana, tapi ya, cuma sebatas jadi bualan janji,” kata Wa Ateng menyindir.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Garut juga tidak kalah memalukan. Meski ada sedikit kenaikan dalam angka harapan hidup, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan tetap di level yang sama-sama menyedihkan. Banyak sekolah masih dalam kondisi mengenaskan, dengan fasilitas minim dan guru yang kekurangan dukungan. Sementara itu, akses layanan kesehatan di daerah pedalaman seperti menunggu keajaiban. “Apa gunanya gedung olahraga megah, kalau warganya sakit saja masih sulit dapat layanan kesehatan yang layak? Pendidikan pun masih seadanya. Hebat betul, pembangunan fisik itu,” tukas Wa Ateng dengan nada sinis.
Infrastruktur di Garut juga jadi bahan ejekan. Coba lihat wilayah selatan: sekitar 185,62 km jalan masih rusak parah. Ini bukan sekadar angka, tapi fakta yang mencerminkan ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah dasar. “Stadion megah berdiri, tapi jalan untuk petani mengangkut hasil bumi malah hancur lebur. Ini prioritasnya apa, sih? Mau jadi juara lomba stadion atau memang sudah hilang arah?” sindir Wa Ateng.
Pengelolaan keuangan daerah yang sempat mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ternyata tidak cukup untuk meredam kecurigaan publik. Banyak yang mempertanyakan, apakah penghargaan itu benar-benar mencerminkan pengelolaan yang baik, atau hanya sekadar formalitas. “Predikat WTP itu bagus di atas kertas, tapi coba cek anggaran-anggaran yang dihamburkan untuk proyek yang hasilnya tak jelas. Penghargaan buat laporan bagus, bukan buat rakyat yang masih tercekik masalah,” ucap Wa Ateng, menggelengkan kepala.
Kegagalan demi kegagalan ini seharusnya menjadi cermin bagi calon pemimpin yang akan datang. Apakah mereka akan membawa perubahan nyata, atau sekadar meneruskan tradisi janji-janji manis yang tak pernah ditepati? “Cukup sudah sepuluh tahun. Kami tidak mau terus-menerus disuguhi pembangunan setengah hati. Garut butuh pemimpin yang berani ambil langkah nyata, bukan sekadar tukang tebar janji di panggung kampanye,” tutup Wa Ateng dengan nada penuh sindiran.***