Medsos, Senjata Baru Bupati & Wakil Bupati Garut: Antara Quick Response dan Transparansi Publik
Di era digital ini, kepemimpinan bukan lagi soal duduk di balik meja dan menunggu laporan masuk. Masyarakat ingin pemimpinnya aktif, tanggap, dan terbuka. Inilah yang dilakukan oleh Wakil Bupati Garut, drg. Hj. Lutfianissa Putri Karlina, MBA. Bersama Bupati Dr. Ir. H. Abdusy Syakur Amin, M.Eng, IPU, ia memanfaatkan media sosial bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai ruang interaksi langsung dengan masyarakat. Tujuannya jelas: membangun transparansi, mengedukasi publik tentang kebijakan daerah, dan memastikan masyarakat tahu bahwa pemerintah hadir untuk mereka.
Menurut Galih F. Qurbany, pengamat kebijakan dan informasi strategis dari PAKIS, pendekatan ini adalah adaptasi yang cerdas. “Di zaman di mana informasi bisa tersebar dalam hitungan detik, pemimpin yang lambat merespons akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Media sosial memungkinkan pemerintah daerah menjangkau masyarakat lebih cepat dan lebih luas,” kata Galih.
Namun, pemanfaatan media sosial bukan sekadar unggahan statis yang hanya berisi dokumentasi kegiatan semata. Dalam konteks komunikasi politik dan kebijakan publik, media sosial harus menjadi medium interaktif yang memungkinkan terjadinya feedback loop antara pemerintah dan masyarakat. Ketika Wakil Bupati Putri Karlina mengunggah kegiatan atau kebijakan yang sedang dijalankan, hal tersebut bertujuan untuk memicu engagement publik—bukan sekadar untuk konsumsi informasi satu arah, tetapi agar masyarakat dapat memberikan umpan balik, kritik, dan aspirasi secara langsung. Inilah bentuk partisipasi deliberatif yang memperkuat demokrasi digital di tingkat lokal.
Dengan jumlah penduduk Garut mencapai 2,7 juta jiwa, dan menurut data tahun 2020, masih ada sekitar 142 desa yang belum memiliki akses internet memadai, ada tantangan besar dalam memastikan bahwa strategi komunikasi ini benar-benar efektif. Tidak semua warga bisa mengakses informasi dari media sosial, sehingga komunikasi konvensional tetap harus diperkuat.
Menariknya, dibandingkan dengan Bupati, Wakil Bupati Putri Karlina jauh lebih aktif di media sosial. Ini bukan soal ingin lebih terkenal atau cari panggung politik. “Jangan salah paham, ini bukan manuver politik. Wakil Bupati punya tugas untuk merespons cepat permasalahan yang muncul di masyarakat. Jadi wajar jika ia lebih banyak tampil di ruang digital,” tambah Galih. Strategi ini adalah bagian dari pola kepemimpinan kolektif-kolegial antara Bupati dan Wakil Bupati. Sementara Bupati fokus pada kebijakan strategis dan fundamental, Wakil Bupati bergerak cepat menangani isu-isu aktual yang langsung berdampak pada masyarakat.
Langkah ini juga sejalan dengan Teori Agenda Setting yang dikembangkan oleh McCombs & Shaw (1977), yang menyebut bahwa media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi publik tentang isu-isu yang dianggap penting. Dengan kata lain, keaktifan Wakil Bupati di media sosial membantu mengarahkan perhatian masyarakat pada kebijakan-kebijakan prioritas yang sedang dijalankan pemerintah daerah.
Namun, seperti halnya pisau bermata dua, penggunaan media sosial oleh pemimpin daerah juga bisa menimbulkan tantangan. Jika tidak dikelola dengan baik, media sosial bisa menjadi ajang pencitraan belaka tanpa memberikan ruang bagi kritik yang membangun. Oleh karena itu, strategi komunikasi digital yang diterapkan harus benar-benar transparan dan melibatkan partisipasi publik. Putri Karlina sendiri tampaknya memahami ini. Ia tidak hanya mengunggah pencapaian dan kegiatan pemerintahan, tetapi juga membuka ruang dialog dengan masyarakat, menerima kritik, dan merespons keluhan dengan cepat.
Ke depan, jika komunikasi digital ini ingin lebih inklusif, maka pemerataan akses internet di Garut harus menjadi prioritas. Tanpa itu, akan ada kesenjangan informasi yang bisa memperlebar jurang partisipasi publik. “Digitalisasi tanpa inklusivitas hanya akan menciptakan gap antara yang bisa mengakses informasi dan yang tertinggal. Kalau mau membangun Garut Hebat, semua warga harus bisa ikut serta dalam prosesnya,” tegas Galih.
Kesimpulannya, pemanfaatan media sosial dalam kepemimpinan daerah adalah langkah progresif yang harus didukung, tapi tetap harus dilakukan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Syakur dan Putri Karlina telah menunjukkan bagaimana pemimpin di era digital harus bersikap: cepat, tanggap, dan dekat dengan rakyat. Dengan pendekatan ini, komunikasi politik bukan lagi sekadar menyampaikan pesan, tapi membangun kepercayaan dan keterlibatan masyarakat dalam mewujudkan Garut yang lebih maju dan transparan menuju Garut HEBAT.***