Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Jawa Barat dalam Angka 2024,” Kabupaten Garut menempati posisi kedua sebagai daerah termiskin di Jawa Barat, hanya satu tingkat di bawah Kabupaten Bogor. Angka kemiskinan yang mencapai 9,77 persen atau sekitar 260.480 jiwa ini menjadi cerminan nyata masalah struktural yang sudah mengakar dan diwariskan dari tahun ke tahun. Pj. Bupati Garut, Barnas Adjidin, pun mengakui bahwa data ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan refleksi dari besarnya jumlah penduduk dan luas wilayah yang membuat tantangan penanggulangan kemiskinan semakin kompleks.
Namun, persoalan ini tidak bisa hanya direduksi menjadi masalah demografis dan geografis. Menurut Galih F. Qurbany, aktivis 98 yang juga menjabat sebagai Koordinator Strategi untuk kandidat pasangan 02 dalam Pilkada Garut 2024, kemiskinan di Garut merupakan hasil dari kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat miskin selama satu dekade terakhir. Menurutnya, Garut sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar, mencakup sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan pariwisata yang beragam. Kawasan pegunungan di Garut terkenal ideal untuk pertanian hortikultura, dan kawasan pesisirnya menyimpan potensi besar dalam perikanan yang belum sepenuhnya dikembangkan. Selain itu, keindahan alam Garut yang meliputi pegunungan, pantai, dan situs-situs budaya adalah modal yang sangat berharga untuk sektor pariwisata.
“Namun, potensi besar ini tidak pernah dikapitalisasi secara maksimal oleh pemerintah daerah selama dua periode terakhir,” ujar Galih. Ia menegaskan bahwa tidak adanya keberpihakan politik dan alokasi anggaran yang memadai untuk mengembangkan sektor-sektor produktif tersebut merupakan salah satu penyebab utama mengapa kemiskinan di Garut seolah menjadi warisan yang tidak pernah terselesaikan. Alih-alih berinvestasi dalam pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan, pemerintah daerah lebih memilih untuk membiarkan anggaran terfokus pada proyek-proyek yang tidak mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Secara teoretis, kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diarahkan untuk mengoptimalkan potensi SDA melalui perencanaan yang terukur dan inklusif. Ketika sebuah daerah kaya akan SDA namun tetap miskin, maka penyebabnya biasanya terletak pada tata kelola yang buruk serta kebijakan yang tidak efektif. Kondisi seperti ini menciptakan disparitas antara potensi ekonomi dan realitas kesejahteraan masyarakat. Garut, dengan segala kekayaan alamnya, seharusnya bisa menjadi daerah yang makmur, tetapi kenyataannya adalah kebalikan. “Kegagalan pemerintah daerah selama satu dekade terakhir dalam mengelola sumber daya ini menyebabkan stagnasi dan bahkan kemunduran ekonomi, terutama di kalangan masyarakat miskin,” kata Galih.
Kebijakan yang tidak pro-rakyat miskin ini juga terlihat dari pola penganggaran yang lebih mengutamakan proyek-proyek prestisius yang tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. “Kemiskinan di Garut ini seperti dipelihara agar bantuan dari pusat dan provinsi tetap mengalir, tetapi tidak pernah benar-benar digunakan untuk mengentaskan kemiskinan,” lanjut Galih. Pandangan ini didasarkan pada fakta bahwa bantuan yang diterima hanya menjadi solusi sementara, tidak menciptakan dampak jangka panjang yang signifikan bagi masyarakat miskin di Garut.
Galih juga menyoroti bahwa selama dua periode terakhir, kebijakan pemerintah daerah tidak menawarkan solusi jangka panjang. “Selama tidak ada niat politik yang kuat untuk benar-benar memutus rantai kemiskinan ini, maka kita akan terus melihat Garut terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan,” tegasnya. Dengan demikian, tantangan utama dalam mengatasi kemiskinan di Garut bukan hanya soal alokasi anggaran, tetapi juga mengenai reformasi kebijakan yang menyeluruh dan keberanian untuk mengubah paradigma pembangunan.
Ke depan, penting bagi pemerintah daerah untuk memiliki visi yang jelas mengenai pengembangan ekonomi lokal berbasis SDA yang berkelanjutan. Investasi yang memadai dalam sektor infrastruktur pedesaan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sehingga masyarakat memiliki akses terhadap peluang ekonomi yang lebih baik. Hal ini harus dibarengi dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, di mana setiap dana yang dialokasikan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat miskin.
Menurut Galih, pemilihan pemimpin dalam Pilkada 2024 ini adalah momentum yang tepat bagi masyarakat Garut untuk melakukan refleksi dan tidak lagi sembarang memilih pemimpin. “Kesalahan dalam memilih pemimpin yang tidak berpihak pada rakyat kecil akan memperpanjang penderitaan masyarakat dan mempertahankan warisan kemiskinan di Garut,” ujarnya. Ia mengajak masyarakat untuk memilih pemimpin yang tidak dibebani dengan kesalahan masa lalu, dan memiliki visi baru yang berani serta berpihak pada kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang paling terdampak kemiskinan.
“Pemimpin baru harus mampu memanfaatkan potensi SDA Garut tanpa hanya bergantung pada bantuan dari pusat dan provinsi. Kita membutuhkan pemimpin yang berani mengubah paradigma pembangunan dan berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal. Itulah sebabnya, Paslon 02 (Syakur-Putri) menawarkan konsep pembangunan berbasis teknokratis yang dapat membawa Garut keluar dari bayang-bayang kemiskinan yang selama ini membelenggu,” pungkas Galih.***