Oleh : Galih F.Qurbany , Pengamat Kebijakan Strategis ,PAKIS
Keputusan Drg. Hj. P. Lutfianissa Putri Karlina, MBA, Wakil Bupati Garut terpilih, untuk menolak fasilitas negara seperti rumah dinas dan mobil dinas menjelang pelantikannya pada Maret mendatang, mengundang perhatian publik sekaligus perdebatan. Langkah yang telah dijanjikan sejak masa kampanye ini memantik diskursus: Apakah keputusan tersebut murni bentuk kesederhanaan dan empati terhadap masyarakat, ataukah sebatas pencitraan populis untuk mengukuhkan legitimasi politik?
Dalam narasi yang ia bangun, menolak rumah dinas dan menggunakan mobil pribadi dianggap sebagai simbol komitmen untuk hidup sederhana dan dekat dengan rakyat. Namun, keputusan seperti ini bukan tanpa konsekuensi. Menolak fasilitas negara, terutama kendaraan dinas, yang notabene dirancang untuk mendukung efisiensi kerja pemimpin di wilayah dengan medan sulit seperti Garut, dapat memunculkan pertanyaan: Apakah keputusan ini benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat, atau justru membatasi efektivitas pemimpin dalam menjalankan tugasnya?
Pada titik ini, teori kepemimpinan servant leadership dari Robert K. Greenleaf sering digunakan untuk membenarkan langkah populis semacam ini. Pemimpin yang melayani, menurut Greenleaf, harus mampu menunjukkan pengorbanan pribadi demi kepentingan publik. Tetapi, pengorbanan ini seharusnya tidak menjadi beban yang justru mengurangi kualitas layanan kepada masyarakat. Jika keputusan menolak mobil dinas mengurangi kemampuan mobilisasi atau menciptakan risiko keamanan, maka langkah ini bisa saja menjadi kontraproduktif.
Dinamika Populisme dan Pola Kepemimpinan di Garut
Langkah yang diambil Putri Karlina tidak dapat dilepaskan dari konteks populisme dalam politik lokal. Dalam kajian Ernesto Laclau, populisme kerap digunakan untuk menciptakan hubungan emosional antara pemimpin dan rakyat, khususnya di tengah masyarakat yang merasa kurang terwakili. Namun, populisme hanya efektif jika disertai kebijakan konkret yang menjawab kebutuhan masyarakat. Tanpa itu, populisme hanyalah narasi kosong yang tidak berdampak.
Berbeda dengan Wakil Bupati, Dr. H. Syakur Amin, M.Eng., IPU, menunjukkan pendekatan populis yang lebih pragmatis. Ia tidak menempatkan simbolisme seperti penolakan fasilitas negara sebagai prioritas, melainkan memilih untuk fokus pada kebijakan substantif yang berorientasi pada perubahan struktural. Pendekatan ini menggarisbawahi bahwa kedekatan dengan rakyat tidak hanya terletak pada simbol, tetapi pada keberanian mengambil kebijakan yang progresif dan berdampak luas.
Langkah-langkah ini, meskipun berbeda, mencerminkan dua sisi dari pola kepemimpinan. Di satu sisi, Putri Karlina menawarkan simbol kesederhanaan. Di sisi lain, Syakur Amin memberikan fondasi kebijakan yang memperkuat tata kelola pemerintahan. Jika keduanya dapat saling melengkapi, maka pasangan ini memiliki potensi besar untuk menghadirkan transformasi yang diharapkan masyarakat Garut.
Kesederhanaan: Citra atau Substansi?
Sejarah politik Indonesia mencatat sejumlah pemimpin yang menolak fasilitas negara sebagai bentuk kesederhanaan. Joko Widodo, ketika menjabat Wali Kota Solo, menolak rumah dinas dan memilih tetap tinggal di rumah pribadinya. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, juga menggunakan kendaraan pribadinya dalam beberapa kesempatan. Namun, kesederhanaan mereka tidak berhenti pada simbolisme. Kedua tokoh ini berhasil mengonversi kesederhanaan tersebut menjadi kebijakan yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Jika Putri Karlina ingin langkahnya dipandang sebagai substansi, bukan sekadar pencitraan, ia harus memastikan bahwa keputusan ini tidak mengorbankan efektivitas kinerjanya sebagai pemimpin. Publik tidak hanya membutuhkan simbol, tetapi juga hasil nyata. Penolakan fasilitas negara harus diiringi dengan pengalihan anggaran yang jelas untuk program-program pro-rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi.
Sebaliknya, jika langkah ini hanya berhenti pada narasi, maka keputusan ini berpotensi menjadi bumerang. Kritik yang muncul bisa mengarah pada tuduhan bahwa langkah tersebut hanyalah strategi politik untuk memperkuat legitimasi pribadi tanpa memberikan manfaat riil bagi masyarakat.
Empati dan Tuntutan Publik
Keputusan Putri Karlina telah menggugah empati publik, tetapi empati saja tidak cukup. Masyarakat Garut, yang masih bergulat dengan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan infrastruktur yang belum merata, menuntut pemimpin yang tidak hanya dekat secara simbolis, tetapi juga mampu menghadirkan solusi konkret.
Dalam konteks ini, Syakur Amin sebagai Bupati terpilih memiliki peran strategis untuk mengimbangi langkah populis Putri Karlina dengan kebijakan yang kuat dan terukur. Kedekatan dengan rakyat harus diwujudkan dalam bentuk tata kelola pemerintahan yang transparan, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Proyeksi dan Tantangan
Ke depan, langkah ini akan menjadi batu uji bagi pasangan Syakur-Putri. Jika penolakan fasilitas negara dapat diterjemahkan menjadi efisiensi anggaran dan pengalihan sumber daya untuk kepentingan rakyat, maka keputusan ini akan menjadi preseden positif dalam politik lokal. Namun, jika langkah ini hanya menjadi simbol tanpa substansi, maka kepercayaan publik yang telah terbentuk akan terkikis dengan cepat.
Dalam iklim politik yang semakin kritis, publik tidak hanya menilai dari apa yang terlihat, tetapi juga dari apa yang dihasilkan. Maka, kombinasi antara simbolisme Putri Karlina dan kebijakan substantif Syakur Amin akan menjadi kunci keberhasilan pasangan ini dalam mewujudkan janji kampanye mereka. Kedua pemimpin ini memiliki kesempatan besar untuk membuktikan bahwa politik tidak hanya tentang janji, tetapi tentang keberanian mengambil keputusan yang berdampak nyata bagi masyarakat.***