Kilaspasundan.id_Garut – Masyarakat Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut melalui Unsur Pemerintah Desa Sagara dan para saksi sejarah di desa Sagara, melayangkan surat permintaan penjelasan terkait status tanah di Desa Sagara Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut.
Surat bernomor 529/2006/05/V11/2023 yang ditanda tangani Kepala Desa Sagara, Ketua BPD Desa Sagara dan saksi sejarah itu, dua kali dilayangkan sebagai bentuk tanggapan atas surat dari Sekretaris Daerah Kabupaten Garut Tanggal 12 Juni 2023 Nomor 700.14,11/3037 Disperkim, mengenai tindak lanjut surat dari PLT Direktur Jendral Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.603/PKTL/Pla.2/6/2023,Tanggal 6 Juni 2023.
Perihal Pelaksanaan Perjalanan Dinas Tim Terpadu Dalam Rangka Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Rangka Penataan Hutan (PPTPKH) untuk permukiman Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial di Provinsi Jawa Barat Tahap 1.
Kepala Desa Sagara, Alit Saripudin dan Ketua BPD Desa Sagara, Doni David, meminta Pemerintah dari mulai Presiden hingga Camat meninjau ulang jika akan membuat langkah, kebijakan dan pembangunan strategis dengan melihat kondisi di lapangan serta menerapkan sisi keadilan bagi masyarakat.
Karena, berdasarkan bukti-bukti otentik yang dimiliki, terang Doni David, di Desa Sagara Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut tidak ada catatan dalam peraturan apapun yang memberikan petunjuk atau data terkait status tanah hutan, lahan lindung dan perkebunan negara atau swasta.
Terkecuali permukiman dan perkebunan rakyat yang sudah berlangsung semenjak desa Sagara masih menjadi bagian desa Maroko sebagai desa pokok sebelum ada pemekaran desa.
“Kami menolak Program Perhutanan Sosial dan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus
(KHDPK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena di Desa Sagara tidak ada tanah milik KLHK dan Perhutani,” terangnya, Minggu (20/8).
Dijelaskannya bahwa pihaknya tidak menyalahkan surat tugasnya namun yang dipertanyakan adalah darimana mereka memiliki sumber bahwa di Desa Sagara ada lahan milik KLHK dan Perhutani.
“Kami tidak menyalahkan tugasnya namun kami mempertanyakan darimana mereka punya dasar untuk membuat kebijakan penertiban kawasan hutan dan permukiman karena kami memiliki data – data otentik yang dikeluarkan oleh Kementerian terkait, mengenai status Tanah di Desa Sagara dan kami siap beraudensi dengan semua pihak yang terkait masalah ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, Pemerintah dari mulai Presiden hingga tingkat camat, seharusnya meninjau ulang dan melihat kondisi di lapangan seperti apa, karena status tanah di Desa Sagara sudah sangat jelas, Redis yang dikeluarkan oleh pihak Kementerian terkait juga sudah jelas termasuk kawasan yang diklaim Kawasan BKSDA sudah sejak dulu adalah lahan garapan masyarakat.
“Termasuk kawasan yang diklaim Kawasan BKSDA, jika betul kawasan BKSDA ayo kita jaga dan lestarikan bersama tapi apakah ada buktinya bahwa lahan tersebut kawasan BKSDA, karena sejak dahulu lahan tersebut adalah lahan garapan masyarakat jauh sebelum diklaim Kawasan BKSDA,” beber dia.
“Kami memiliki bukti-bukti otentik terkait status tanah di Desa Sagara, justru pemerintah masih memiliki utang untuk menyelesaikan sertifikat hak milik kepada masyarakat seluas +1.238 Ha karena yang baru disertifikatkan hak milik seluas + 201 Ha (555 orang),”.
” Kami menunggu dari tahun 1990 sejak Redistribusi tanah dibuat tetapi setelah 33 tahun menunggu justru pemerintah tidak peduli bahkan seolah akan mencaplok kembali warisan anak cucu kami dengan ,menurunkan Tim PPTPKH, wajar jika kami meradang dan siap mempertahankan hak anak cucu kami hingga titik darah terakhir,” sebutnya.
Doni David menyebut, jika seluruh unsur Pemerintahan Desa Sagara dan kelompok OTL yang terdiri dari Kelompok Ciniti-Sorong, Kelompok Bendungan -Sarakan, Kelompok Yayasan -Leuwi pari dan Cimerak dengan keanggotaan aktip berjumlah 500 orang, didampingi LBH
Sementara itu, Serikat Petani Pasundan ( SPP) menyesalkan sikap Bupati Garut yang ceroboh karena tidak melakukan perlindungan terhadap rakyatnya yang terancam menjadi miskin dan kekayaannya akan diambil sepihak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Serikat Petani Pasundan menyesalkan sikap Bupati Garut yang terkesan ceroboh atau kecolongan karena tidak melakukan perlindungan terhadap rakyatnya yang terancam jadi miskin dan kekayaannya akan diambil secara sepihak oleh KLHK,” Demikian keterangan tertulis Ketua LBH SPP Yudi Kurnia, Minggu (20/8).
Terlebih lagi Bupati Garut tidak melakukan pengendalian dan mengontrol terhadap bawahannya yaitu Camat dan Kepala Desa yang digiring oleh kementerian KLHK agar mengumpulkan masyarakat untuk bertemu dengan pihak KLHK, Perhutani dan Dinas Kehutanan, dimana secara tidak langsung Camat, Kepala Desa dan masyarakat digiring secara tidak langsung untuk mengakui dan melegitimasi tanah Negara yang digarap oleh masyarakat akan dikuasai oleh KLHK tanpa dasar yang jelas dan akan dijadikan program Perhutanan Sosial dengan wilayah kelola sebagai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus ( KHDPK).
Tanah Negara yang ada di daerah dan sudah dikelola oleh rakyat dengan baik, mestinya dijadikan modal kesejahteraan baik untuk rakyat maupun pemerintahan desa.
Bupati seharusnya dapat meningkatkan legalitasnya untuk mendapatkan kepastian hukum dengan terlebih dahulu menetapkan sebagai objek Landreform sesuai kewenangan Bupati untuk kesejahteraan rakyatnya yang berkelanjutan. Justru sebaliknya yang terjadi tanah Negara yang seharusnya sebagai alat kesejahteraan rakyat dan desa justru akan dikuasai oleh KLHK dengan dalih akan dijadikan program perhutanan social.
“Jangan gara – gara rakyat tidak memiliki bukti kepemilikan tanah kemudian diambil oleh Negara, sama saja dengan memberlakukan kembali system colonial yaitu siapapun yang mengusai tanah tanpa dapat membuktikan bukti kepemilikannya maka diambil oleh Pemerintah Belanda ( Domein Verklaring ). Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah 78 tahun merdeka dan rakyat seharusnya sejahtera dengan sumber daya alamnya, malah sebaliknya akan mengalami kemunduran seperti jaman penjajahan Belanda,” Jelas Yudi Kurnia. *rep.yus*