Faktapasundan.id_Garut – Wakil Bupati Garut dr. Helmi Budiman, turut serta dalam pelaksanan _Ground Breaking_ Pembangunan Gedung Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung Unit Pelayanan Fungsional (UPF) Garut – Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu, yang terletak di Jalan Pembangunan, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Selasa (19/9/2023).
Pentingnya kehadiran Rumah Sakit Paru di Garut tidak dapat diabaikan, terutama mengingat jumlah pasien Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) di Kabupaten Garut mencapai lebih dari 90 orang. Wakil Bupati Garut menyebutkan bahwa rumah sakit ini akan memudahkan proses pengobatan bagi pasien TB di Kabupaten Garut, yang sebelumnya harus melakukan perjalanan bolak-balik ke Bandung.
“Betul, cuman kan masalahnya kebosanan, kan bolak balik Bandung kan cukup lama begitu ya, transportasi begitu kan, belum di mobilnya sakit dia kan. Nah jadi ini memang akan membantu masyarakat Garut yang asalnya ke Bandung cukup di Garut saja,” ucapnya.
Tak hanya membantu pasien TB Garut, Rumah Sakit Paru ini juga mampu menampung pasien dari kabupaten sekitarnya yang jaraknya dekat dengan Kabupaten Garut.
“Kemudian juga tadi, dengan ini jadi rumah sakit, kemarin kan UPF sekarang naik statusnya menjadi rumah sakit. Tentu akan lebih komplit, akan lebih penanganannya akan lebih bagus kepada masyarakat yang menderita TB,” katanya.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Azhar Jaya, menekankan bahwa adanya sarana kesehatan yang memadai di Kabupaten Garut akan mengurangi beban kesehatan di Kota Bandung. Ia percaya bahwa Rumah Sakit Paru ini sangat diperlukan oleh masyarakat Jawa Barat, khususnya Kabupaten Garut.
Provinsi Jawa Barat masuk dalam lima provinsi dengan angka TB yang tinggi. Kabupaten Garut sendiri berada di urutan ke-13 di Provinsi Jawa Barat. Dr. Azhar menegaskan pentingnya kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam menangani masalah kesehatan.
“Tentunya kita jangan menyalahkan siapa-siapa, ini adalah masalah kita bersama yang perlu kita selesaikan, butuh kerja sama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai dengan seluruh stakeholder dalam hal ini bapak ibu semua. Karena sekali lagi masalah kesehatan gak bisa diselesaikan oleh pemerintah,” ucapnya.
Ia menerangkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan tingginya angka TB adalah banyaknya pengobatan yang tidak tuntas, pasien merasa bosan untuk melakukan pengobatan, sehingga obat yang diberikan menjadi resisten atau kebal. Maka dari itu, imbuhnya, hal ini menimbulkan kondisi MDR yang memerlukan pengobatan yang lebih intensif.
“Multidrag Resistan, jadi TB yang resistan terhadap obat-obatan yang standar, ini yang bahaya. Kenapa? Karena orang ini akan terus menularkan dari satu orang ke orang yang lain, bukan hanya di keluarganya tapi di masyarakatnya. Ini yang mau kita coba cegah,” ucapnya.
UPF ini memiliki perbedaan signifikan dengan sebelumnya, di mana sebelumnya tidak ada fasilitas untuk merawat pasien MDR TB. Saat ini, pihaknya akan menyediakan perawatan khusus untuk pasien MDR TB. Dr. Azhar menekankan peningkatan kualitas pengobatan dengan penambahan dokter spesialis paru tetap di fasilitas ini.
“Kita taruh dokter tetap pak, kalau dulu dokternya belum tetap, nanti ke depan (akan ada dokter paru tetap). Sekarang pun sudah ada dokternya, kita ada dokternya itu, dia akan kami tempatkan dokter spesialis paru tetap disini sehingga kualitas pengobatan kita akan semakin baik,” ucapnya.
Terakhir, ia meminta keterlibatan semua pihak, termasuk media dan keluarga pasien, dalam mengawasi pasien TB agar bisa menjalani pengobatannya hingga tuntas.
“Jadi di keluarga itu kita sekarang gini, setiap pasien TB kita harus minta adanya PMO, PMO itu pengawas minum obat yang memastikan agar pasien benar-benar minum obat. Jadi bukan cuma hanya pasien, tapi kita minta keluarga jadi PMO,” tandasnya.