Pembacaan Babad Cirebon menjadi tradisi yang rutin diadakan Keraton Kanoman Cirebon setiap tahun. Tradisi ini digelar untuk mengulas kembali sejarah berdirinya Cirebon pada masa lalu.
Suasana khidmat dan aroma kemenyan terus menyelimuti prosesi pembacaan Babad Cirebon yang berlangsung pada Kamis (20/7/2023) malam. Pembacaan Babad Cirebon dilakukan di Witana, sebuah bangunan di lingkungan Keraton Kanoman.
Dikisahkan, Witana merupakan sebuah bangunan yang menjadi titik awal dari berdirinya Cirebon. Empat lilin berukuran besar terus menyala di antara rombongan Sultan Kanoman, Pangeran Raja Mohamad Emirudin dan pangeran Kumisi yang bertugas membacakan Babad Cirebon.
Prosesi pembacaan Babad Cirebon ini dibuka dengan pembacaan doa yang dipimpin penghulu keraton. Selain keluarga keraton, prosesi pembacaan Babad Cirebon ini juga turut dihadiri pejabat Pemkot Cirebon dan warga sekitar.
Juru Bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina mengatakan, pembacaan Babad Cirebon merupakan tradisi membacakan cerita asal-usul dari lahirnya daerah berjuluk ‘Kota Udang’.
“Tujuan pelaksanaan tradisi ini merupakan upaya memberikan edukasi kepada kita semua, khususnya generasi muda agar selalu mengingat tanah asal-usul tumpah darahnya,” kata Ratu Raja Arimbi, Kamis (20/7/2023).
Menurutnya, tradisi pembacaan Babad Cirebon ini sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1529 M, bahkan mungkin sebelum tahun tersebut.
Seperti dijelaskan sebelumnya, pembacaan Babad Cirebon tersebut berisikan cerita tentang awal mula berdirinya Cirebon. Pembacaan Babad Cirebon ini rutin dilakukan setiap 1 Muharram.
Ratu Raja Arimbi pun memaparkan sejarah singkat dari berdirinya Cirebon berdasarkan isi pembacaan Babad Cirebon tersebut. Ia mengatakan, pada awalnya, wilayah Lemahwungkuk merupakan daerah yang sepi penduduk dan hanya didiami beberapa orang saja.
Namun dalam perjalanannya, wilayah Lemahwungkuk menjadi ramai setelah putra Prabu Siliwangi, yakni pangeran Walangsungsang membabad alas Kebon Pesisir bersama Ki Danusela. Titik awal dari babad alas itu adalah wilayah Witana yang sekarang berada di belakang Bangsal Mande Mastaka, tempat bertahtanya Sultan Kanoman.
Witana sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Wi dan Tana. Ratu Raja Arimbi menjelaskan, Wi di sini berarti Pembuka dan Tana berarti tanah. Jika diartikan, Witana berarti Tanah Pembuka.
Pangeran Walangsungsang bersama Ki Danusela membuka Cirebon sebagai pedukuhan pada ahad kliwon, tepatnya pada 1 (satu) Suro 1367 Saka/866 H /1445 M.
Setelahnya, mereka pun membangun sebuah pemerintahan Pakuwuan. Saat itu, Ki Danusela ditunjuk sebagai Kuwu pertama bergelar Ki Gede Alang-alang atas perintah Syaikh Datuk Kahfi.
Hingga kini, tradisi pembacaan Babad Cirebon masih rutin dilakukan di Keraton Kanoman setiap 1 Muharram. Setelah pembacaan Babad Cirebon selesai, maka prosesi tersebut akan ditutup dengan pembacaan doa.
“Kemudian dilanjutkan kirab menuju Astana Gunung Sembung menggunakan Kreta Paksi Naga Liman untuk ziarah ke makam Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan para Sultan Kanoman terdahulu,” kata Ratu Raja Arimbi.