Misteri jejak telapak tangan dan aksara kuno yang terukir di atas batu di perbatasan Kecamatan Kalapanunggal-Cikidang, Kabupaten Sukabumi akhirnya terungkap. Ukiran tersebut bukan dibuat pada zaman dahulu, namun buatan warga Jampang di masa kini. Ukiran itu ternyata dibuat oleh seseorang bernama Kamaludin, di tahun 70-an.
“Dibuat oleh seorang guru asal Jampang Surade, bernama Kamaludin di tahun 1970. Dibuat sebagai alat praktik siswanya, Kamaludin ini guru salah satu SD di wilayah Kalapanunhhal,” kata Genda, salah seorang warga Kalapanunggal melalui sambungan telepon dengan detikJabar, Jumat (21/7/2023).
Sementara itu, Eldi Khairul Akbar, salah seorang tim peneliti Dinas Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Sukabumi meragukan soal prasasti tersebut berasal dari zaman Sunda Kuna (kuno).
“Jumlah baris yang dapat diamati pada prasasti ini kurang lebih terdapat empat baris, namun pada baris ketiga dan keempat hanya dituliskan setengah saja, kemungkinan karena keterbatasan ruang penulisan pada media batu tersebut,” ungkapnya.
“Berdasarkan analisis awal yang dilakukan, prasasti tersebut ditulis dalam aksara campuran. Ada yang beraksara Jawa Kuna, Deva Nagari, Sunda Kuna, dan beberapa huruf lainya yang belum bisa dipastikan jenis aksara tersebut. Prasasti ini sangat sulit untuk dilakukan pembacaan awal, karena jenis aksaranya yang beragam, sehingga sulit untuk diidentifikasi lebih lanjut,” sambung Eldi.
Lebih jauh, Eldi membahas soal perbandingan prasasti dari perbatasan Kalapanunggal dengan prasasti dari Masa Kerajaan Sunda Kuna.
“Prasasti-prasasti yang berasal dari Masa Kerajaan Sunda Kuna umumnya terbuat dari bahan batu atau logam. Bahasa yang digunakan ada yang berbahasa Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Jawa Kuna dengan aksara yang digunakan adalah Sunda Kuna dan Jawa Kuna. Prasasti-prasasti tersebut dituliskan hanya satu kali, sehingga kedudukannya dianggap suci (sakral) pada masa lalu,” jelasnya.
Prasasti dari zaman Sunda Kuna mayoritas dibuat oleh seorang citralekha atas perintah atau titah dari raja yang sedang berkuasa dan memiliki isi di dalamnya.
“Beda halnya dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di perbatasan Kalapanunggal, prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan berbagai jenis aksara, kedua prasasti tersebut ditulis menggunakan aksara campuran, baik Jawa Kuna, Sunda Kuna, Pallava, dan Deva Nagari,” ungkap Eldi.
Hal tersebut, menurut Eldi tidak lazim dalam penulisan prasasti pada Masa Kerajaan Sunda Kuna. Karena umumnya, prasasti dibuat menggunakan satu jenis aksara saja.
Selain itu, prasasti yang ditemukan di perbatasan Kalapanunggal berdasarkan hasil analisis awal yang dilakukan, tidak memiliki pesan atau isi apapun dalam penulisannya. Hal ini menunjukan perbedaan dengan temuan prasasti-prasasti pada Masa Kerajaan Sunda Kuna.
“Saat menyusun penelitian, saya juga melakukan wawancara dengan warga sekitar, dimana masyarakat menuturkan bahwa prasasti tersebut dibuat sekitar tahun 1980’an oleh orang yang berasal dari daerah Jampang, Sukabumi. Hal ini memperkuat analisis awal, bahwa prasasti yang ditemukan dari perbatasan Kalapanunggal bukan berasal dari Masa Kerajaan Sunda Kuna,” ungkap Eldi.