Angka stunting di Kabupaten Garut, Jawa Barat, hingga kini masih cukup tinggi. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi terus berupaya menurunkannya. Pemerintah Daerah Garut tetap optimis menargetkan prevalensi stunting di bawah 14% pada tahun 2024 ini, sesuai dengan target nasional, meski angka stunting di Kabupaten Garut naik dari 23,6% menjadi 24,1% pada tahun 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI).
Di wilayah kerja Puskesmas Cipanas, Kecamatan Tarogong Kidul berhasil menurunkan angka stunting hingga mendekati prevalensi stunting yakni 15 persen, atau sekitar 450 penderita dari 3 ribu sasaran dari sebelumnya 16 persen.
” Kondisi stunting di wilayah kerja PKM Cipanas itu setelah Gertak Stunting pada bulan Juni kemarin Gerakan Serentak pemantauan stunting ada penurunan sampai 15 persen sebelumnya 16 persen. Dulu angka stunting itu mencapai 23 persen,” tutur Kepala Puskesmas Cipanas, Kecamatan Tarogong Kaler, Hj. Husnul Khotimah ditemui Selasa (16/07/2024).
Menurutnya, penanganan stunting itu dilakukan dengan beragam cara, seperti pemberian makanan tambahan yang dialokasikan Dinas Kesehatan dan dari desa, serta berasal dari CSR perusahaan perhotelan karena lokasinya yang berada di kawasan wisata air panas Cipanas.
” Jadi setelah ada penurunan sekarang kita fokus ke penanganan bagaimana tidak menghasilkan new stunting. Kita juga mengadakan atau pendekatan kepada remaja supaya remaja juga sehat. Saat nanti mereka bisa hamil dalam keadaan sehat dan melahirkan, kalau ibu hamil sehat, insya Allah akan melahirkan bayi yang sehat. Itu yang tidak stunting seperti itu,” jelasnya.
Dikatakannya, penyebab terjadinya stunting kebanyakan karena kekurangan gizi dalam waktu yang lama kaitannya dengan masalah ekonomi, kemudian ada penyakit penyerta seperti TB, dan pola asuh yang salah.
” Menurut hemat saya penyebab stunting paling banyak disebabkan akibat pola asuh ini perlu sosialisasi kepada orang tua. Kalau ekonomi kan banyak bantuan,” katanya.
Diungkapkannya, selain penanganan stunting, pihaknya juga tengah disibukan dengan masalah gizi kurang yang diderita 98 Balita warga setempat.
” Sekarang ini kita sedang melaksanakan program pemberian makanan tambahan PMT lokal bagi Balita penderita gizi kurang. Gizi kurang itu berbeda dengan stunting. Kalau stunting itu umur dibanding tinggi badan, kalau Gizi kurang itu umur dibanding berat badan, ” terangnya.
Husnul mengingatkan kepada para orang tua mengenai pola asuh yang harus diutamakan jangan sampai Balita diasuh oleh orang lain supaya asupan gizinya diperhatikan jika tidak ingin anaknya mengalami stunting atau gizi kurang.
” Pola asuh salah itu ibunya bekerja, anaknya diasuh oleh pengasuh yang tidak paham cara memberikan makanan yang bergizi seperti apa. Beda kan kalau sama orang tua, orang tua pasti akan lebih memperhatikan asupan gizi bagi anaknya,” imbuhnya.
Ia menyimpulkan, pola asuh yang salah menjadi penyebab utama banyaknya Balita yang menderita stunting dan gizi kuang.
” Di sini banyak yang mampu anaknya stunting dan gizi kurang tidak menerima, karena merasa orang mampu. Padahal stunting dan gizi kurang itu bukan karena masalah ekonomi saja. Kalau ada orang mampu tapi anaknya stunting atau gizi buruk berarti pola asuhnya salah, ” pungkasnya.***