Kasus dugaan korupsi di Bank Intan Jabar (BIJ), yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp213 miliar, telah membuka luka lama dalam pemerintahan Kabupaten Garut di bawah kepemimpinan Rudy Gunawan dan Helmi Budiman. Skandal ini tidak hanya mencederai kredibilitas para pejabat yang terlibat, tetapi juga menjadi bukti nyata kegagalan sistemik dalam tata kelola keuangan dan pengawasan publik selama satu dekade terakhir.
Secara akademis, korupsi semacam ini merupakan gejala moral hazard di tingkat birokrasi, yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan dan regulasi internal. Lukmanul Hakim, seorang aktivis lokal yang kerap mengkritisi kebijakan daerah, menyatakan bahwa korupsi di BIJ hanyalah puncak dari banyak kegagalan struktural dalam pemerintahan Rudy-Helmi. Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi semacam ini memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara kekuasaan politik dan tanggung jawab publik, di mana aktor-aktor politik tidak lagi merasa bertanggung jawab kepada publik, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan dalam mengkritisi pemerintahan Rudy-Helmi adalah lemahnya tata kelola keuangan daerah. Audit BPK, yang kerap kali memberikan catatan atas laporan keuangan Garut, menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam alokasi dan penggunaan anggaran. Misalnya, belanja modal yang seringkali jauh lebih kecil daripada belanja pegawai menjadi indikator bahwa pembangunan infrastruktur dan layanan publik tidak menjadi prioritas utama. Lukmanul menambahkan bahwa minimnya transparansi di berbagai sektor, termasuk dalam penyertaan modal di Bank Intan Jabar, adalah akar masalah dari terjadinya penyimpangan ini.
Berdasarkan teori principal-agent, hubungan antara pemerintah (agent) dan masyarakat (principal) seharusnya bersifat vertikal di mana pemerintah bertindak untuk kepentingan publik. Namun, ketika pengawasan masyarakat lemah dan korupsi dibiarkan tumbuh subur, terjadi agency loss yang serius, di mana pejabat publik bertindak atas nama kepentingan pribadi, melanggar mandat yang diberikan masyarakat.
Dari perspektif manajemen keuangan publik, kejadian ini juga memperlihatkan bahwa internal control system dalam pemerintahan daerah sangat tidak efektif. Banyaknya kasus penyimpangan anggaran selama masa kepemimpinan Rudy-Helmi menunjukkan bahwa audit dan pemeriksaan internal tidak diikuti dengan reformasi nyata. Dalam konteks ini, diperlukan reformasi struktural yang lebih dalam, melibatkan audit independen yang transparan, serta penguatan peran lembaga-lembaga pengawas, seperti Inspektorat Daerah dan Komisi Pemberantasan Korupsi Daerah (KPKD).
Dalam konteks penyelesaian masalah ini, Lukmanul Hakim menawarkan beberapa solusi strategis berbasis akademik. Pertama, perlu dilakukan reformasi birokrasi yang radikal, khususnya di sektor pengelolaan keuangan daerah. Good governance dan transparency framework harus menjadi fokus utama pemerintahan berikutnya. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat audit publik secara berkala dan melibatkan lebih banyak unsur masyarakat dalam pengawasan anggaran, misalnya melalui community-based budgeting. Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten dan tegas, tanpa memandang jabatan. Tindakan tegas terhadap korupsi adalah langkah penting untuk memulihkan kepercayaan publik yang telah tergerus.
Dari sisi kebijakan ekonomi, solusi lainnya adalah dengan memperbaiki alokasi anggaran daerah, memastikan bahwa dana yang besar dialokasikan untuk sektor-sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa belanja pegawai yang terlalu besar mengurangi ruang fiskal untuk pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Jika kebijakan dan pengawasan tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin kasus-kasus serupa akan terus terulang. Kegagalan sistemik ini harus diakui dan ditangani dengan kebijakan yang berani dan tegas, sehingga Garut bisa kembali menjadi daerah yang amanah dalam pengelolaan keuangan dan kesejahteraan publik bisa terwujud secara nyata.***˜