Proyek pembangunan jogging track yang sempat menjadi sorotan di Garut kembali menuai polemik, terutama terkait dengan dugaan adanya kerugian negara dalam pelaksanaannya. Pertanyaan mendasar yang muncul di tengah masyarakat adalah apakah proyek ini sudah dijalankan sesuai prosedur yang berlaku sehingga dapat dianggap selesai secara hukum dan administratif?
Menurut Galih F. Qurbany, Wakil Ketua Kadin Garut Bidang Pengadaan Barang dan Jasa, setiap proyek pengadaan barang dan jasa, termasuk proyek konstruksi seperti jogging track, harus tunduk pada regulasi yang memiliki landasan ilmiah dalam tata kelola pembangunan. Regulasi utama yang menjadi landasan adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan LKPP, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Prosedur pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam regulasi ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan berbasis analisis risiko untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Namun, dalam kasus proyek jogging track ini, muncul indikasi bahwa terdapat penyimpangan yang berujung pada potensi kerugian negara. Inspektorat Daerah sebagai lembaga pengawasan internal telah menetapkan adanya kewajiban pengembalian kerugian negara oleh pihak penyedia jasa konstruksi dalam batas waktu 60 hari. Secara prosedural, tindakan ini dapat dianggap sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Regulasi ini memberikan kewenangan kepada inspektorat untuk menindaklanjuti temuan kerugian negara melalui mekanisme pengembalian.
Namun, pertanyaan yang lebih kritis adalah: apakah pengembalian kerugian negara saja sudah cukup untuk menyelesaikan permasalahan hukum dalam kasus ini? Galih F. Qurbany menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara hanyalah salah satu bentuk penyelesaian administratif. Dalam kasus di mana terjadi pelanggaran kontrak atau penyimpangan yang signifikan, seharusnya ada sanksi tambahan yang diberikan kepada penyedia jasa konstruksi. Salah satu sanksi yang relevan adalah pemasukan perusahaan ke dalam daftar hitam (blacklist).
Pemasukan ke dalam daftar hitam bukan hanya langkah administratif, tetapi juga memberikan efek jera yang berbasis penegakan hukum preventif kepada penyedia jasa yang tidak memenuhi kewajibannya. Dasar hukum untuk blacklist sangat jelas, diatur dalam Perpres 16/2018, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, dan Undang-Undang Jasa Konstruksi. Prosesnya pun harus melewati tahapan yang terstruktur, mulai dari evaluasi hingga pemberian kesempatan klarifikasi kepada penyedia jasa. Jika terbukti melakukan pelanggaran, maka penyedia jasa harus dicegah untuk mengikuti lelang atau mendapatkan proyek pemerintah selama periode tertentu.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sering kali sanksi ini tidak dijalankan secara konsisten. Ada kecenderungan untuk menganggap pengembalian kerugian negara sebagai penyelesaian akhir, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas pelaksanaan proyek di masa depan. Jika penyedia jasa yang melakukan pelanggaran tidak diberikan sanksi tegas seperti blacklist, maka risiko terulangnya permasalahan serupa sangat tinggi.
Kasus proyek jogging track ini juga mengungkap persoalan mendasar dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah. Menurut Galih F. Qurbany, salah satu masalah utama adalah lemahnya pengawasan selama proses pelaksanaan proyek. Regulasi sebenarnya sudah mengatur dengan baik, tetapi implementasinya sering kali tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari minimnya kapasitas pengawas, konflik kepentingan, hingga kurangnya keberanian untuk menindak tegas pelanggaran.
Di sisi lain, penyelesaian permasalahan seperti ini harus dilakukan secara komprehensif. Jika penyedia jasa telah diwajibkan mengembalikan kerugian negara, maka langkah selanjutnya adalah memastikan adanya penegakan hukum yang konsisten. Penegakan hukum ini tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga mencakup pengkajian aspek pidana jika terdapat indikasi korupsi dalam kasus ini. Dalam konteks ini, jika sudah terjadi pengembalian kerugian negara dan tidak ditemukan unsur pidana seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi administrasi, maka tuntutan pidana dapat dianggap selesai. Namun, jika unsur-unsur tersebut tetap ada, maka pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Polemik proyek jogging track ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola pengadaan barang dan jasa di Garut. Kadin sebagai mitra strategis pemerintah daerah siap memberikan masukan dan pendampingan untuk memastikan setiap proyek berjalan sesuai prosedur. Namun, Galih F. Qurbany menekankan bahwa reformasi ini membutuhkan komitmen semua pihak, termasuk keberanian pemerintah daerah untuk bertindak tegas terhadap setiap bentuk penyimpangan.
Proyek ini tidak hanya soal jogging track, tetapi juga soal integritas tata kelola pembangunan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Jika permasalahan seperti ini terus berulang tanpa penyelesaian yang tuntas, maka dampaknya akan sangat buruk bagi iklim investasi dan pembangunan yang berkelanjutan di Garut. Oleh karena itu, penyelesaian kasus ini harus menjadi contoh bahwa aturan hukum dan prosedur benar-benar ditegakkan, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
Proyek pembangunan jogging track yang sempat menjadi sorotan di Garut kembali menuai polemik, terutama terkait dengan dugaan adanya kerugian negara dalam pelaksanaannya. Pertanyaan mendasar yang muncul di tengah masyarakat adalah apakah proyek ini sudah dijalankan sesuai prosedur yang berlaku sehingga dapat dianggap selesai secara hukum dan administratif?
Menurut Galih F. Qurbany, Wakil Ketua Kadin Garut Bidang Pengadaan Barang dan Jasa, setiap proyek pengadaan barang dan jasa, termasuk proyek konstruksi seperti jogging track, harus tunduk pada regulasi yang memiliki landasan ilmiah dalam tata kelola pembangunan. Regulasi utama yang menjadi landasan adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan LKPP, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Prosedur pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam regulasi ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan berbasis analisis risiko untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Namun, dalam kasus proyek jogging track ini, muncul indikasi bahwa terdapat penyimpangan yang berujung pada potensi kerugian negara. Inspektorat Daerah sebagai lembaga pengawasan internal telah menetapkan adanya kewajiban pengembalian kerugian negara oleh pihak penyedia jasa konstruksi dalam batas waktu 60 hari. Secara prosedural, tindakan ini dapat dianggap sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Regulasi ini memberikan kewenangan kepada inspektorat untuk menindaklanjuti temuan kerugian negara melalui mekanisme pengembalian.
Namun, pertanyaan yang lebih kritis adalah: apakah pengembalian kerugian negara saja sudah cukup untuk menyelesaikan permasalahan hukum dalam kasus ini? Galih F. Qurbany menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara hanyalah salah satu bentuk penyelesaian administratif. Dalam kasus di mana terjadi pelanggaran kontrak atau penyimpangan yang signifikan, seharusnya ada sanksi tambahan yang diberikan kepada penyedia jasa konstruksi. Salah satu sanksi yang relevan adalah pemasukan perusahaan ke dalam daftar hitam (blacklist).
Pemasukan ke dalam daftar hitam bukan hanya langkah administratif, tetapi juga memberikan efek jera yang berbasis penegakan hukum preventif kepada penyedia jasa yang tidak memenuhi kewajibannya. Dasar hukum untuk blacklist sangat jelas, diatur dalam Perpres 16/2018, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, dan Undang-Undang Jasa Konstruksi. Prosesnya pun harus melewati tahapan yang terstruktur, mulai dari evaluasi hingga pemberian kesempatan klarifikasi kepada penyedia jasa. Jika terbukti melakukan pelanggaran, maka penyedia jasa harus dicegah untuk mengikuti lelang atau mendapatkan proyek pemerintah selama periode tertentu.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sering kali sanksi ini tidak dijalankan secara konsisten. Ada kecenderungan untuk menganggap pengembalian kerugian negara sebagai penyelesaian akhir, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas pelaksanaan proyek di masa depan. Jika penyedia jasa yang melakukan pelanggaran tidak diberikan sanksi tegas seperti blacklist, maka risiko terulangnya permasalahan serupa sangat tinggi.
Kasus proyek jogging track ini juga mengungkap persoalan mendasar dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah. Menurut Galih F. Qurbany, salah satu masalah utama adalah lemahnya pengawasan selama proses pelaksanaan proyek. Regulasi sebenarnya sudah mengatur dengan baik, tetapi implementasinya sering kali tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari minimnya kapasitas pengawas, konflik kepentingan, hingga kurangnya keberanian untuk menindak tegas pelanggaran.
Di sisi lain, penyelesaian permasalahan seperti ini harus dilakukan secara komprehensif. Jika penyedia jasa telah diwajibkan mengembalikan kerugian negara, maka langkah selanjutnya adalah memastikan adanya penegakan hukum yang konsisten. Penegakan hukum ini tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga mencakup pengkajian aspek pidana jika terdapat indikasi korupsi dalam kasus ini. Dalam konteks ini, jika sudah terjadi pengembalian kerugian negara dan tidak ditemukan unsur pidana seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi administrasi, maka tuntutan pidana dapat dianggap selesai. Namun, jika unsur-unsur tersebut tetap ada, maka pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Polemik proyek jogging track ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola pengadaan barang dan jasa di Garut. Kadin sebagai mitra strategis pemerintah daerah siap memberikan masukan dan pendampingan untuk memastikan setiap proyek berjalan sesuai prosedur. Namun, Galih F. Qurbany menekankan bahwa reformasi ini membutuhkan komitmen semua pihak, termasuk keberanian pemerintah daerah untuk bertindak tegas terhadap setiap bentuk penyimpangan.
Proyek ini tidak hanya soal jogging track, tetapi juga soal integritas tata kelola pembangunan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Jika permasalahan seperti ini terus berulang tanpa penyelesaian yang tuntas, maka dampaknya akan sangat buruk bagi iklim investasi dan pembangunan yang berkelanjutan di Garut. Oleh karena itu, penyelesaian kasus ini harus menjadi contoh bahwa aturan hukum dan prosedur benar-benar ditegakkan, bukan sekadar formalitas di atas kertas.***