Ajang Ahmad Haris, seorang aktivis yang mendukung pasangan calon nomor 02 di Pilkada Garut 2024, menyuarakan kritik tajam terhadap dugaan penyalahgunaan anggaran terkait sewa rumah jabatan Wakil Bupati Garut yang melibatkan dr. Helmi Budiman. Kasus ini, yang telah dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, memunculkan kekhawatiran mengenai pelanggaran prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Dalam pandangan Ajang, fasilitas rumah dinas bagi pejabat pemerintah dirancang untuk mendukung kelancaran tugas mereka secara efisien dan efektif. Ketika fasilitas ini sudah tersedia dan dianggarkan, setiap keputusan untuk menyewa tempat lain harus memiliki alasan yang sah dan selaras dengan aturan yang berlaku. Mengabaikan hal ini, menurut Ajang, berpotensi merusak prinsip efisiensi dan pengelolaan keuangan publik yang baik.
Ajang menegaskan bahwa, “Penggunaan anggaran negara seharusnya selalu mencerminkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika rumah dinas sudah tersedia dan memenuhi kebutuhan jabatan, maka tidak ada pembenaran untuk menggunakan anggaran pada sewa rumah lain. Ini bisa dilihat sebagai pemborosan yang tidak perlu dan bahkan penyalahgunaan wewenang.”
Ajang juga mengingatkan akan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik, di mana setiap rupiah dari dana publik harus dipertanggungjawabkan dengan jelas. Baginya, alokasi anggaran yang tidak sesuai peruntukannya merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip good governance. “Ini bukan sekadar soal kenyamanan pribadi pejabat, tetapi menyangkut kepentingan publik yang jauh lebih besar,” tegasnya.
Lebih dari itu, Ajang menyoroti dimensi moral dalam masalah ini. Dengan kondisi ekonomi dan infrastruktur dasar masyarakat yang masih membutuhkan perhatian besar, anggaran negara harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat. “Menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi, seperti sewa rumah yang lebih mewah, menunjukkan ketidakpekaan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Seharusnya prioritas utama adalah membantu warga yang masih tinggal di rumah tidak layak huni,” lanjutnya.
Ia juga mempermasalahkan kurangnya transparansi dalam proses penganggaran, terutama dalam kerja sama dengan pihak ketiga seperti diatur dalam peraturan yang ada. Menurut laporan, tidak ada perjanjian sewa yang jelas untuk rumah jabatan tersebut, yang menunjukkan ketidakpatuhan terhadap standar administratif. “Semua pengeluaran anggaran harus didukung oleh perjanjian resmi yang mengatur seluruh aspek terkait. Tanpa kontrak yang sah, bagaimana mungkin transparansi dan akuntabilitas dapat dijaga?” tambah Ajang.
Ajang Ahmad Haris mengakhiri pernyataannya dengan desakan agar Kejaksaan Tinggi Jawa Barat segera melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kasus ini. “Kami meminta agar ada langkah hukum yang jelas dan profesional untuk mengusut tuntas dugaan ini. Penyelidikan yang transparan akan menjadi upaya untuk memastikan bahwa penyalahgunaan semacam ini tidak terulang dan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran pemerintah. Dana publik adalah amanah untuk kesejahteraan rakyat, bukan sarana untuk keuntungan pribadi segelintir orang,” pungkasnya.***