Program makan siang gratis bagi 200.000 siswa sekolah di Kabupaten Garut adalah bagian dari janji pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Program ini bertujuan memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan gizi yang cukup untuk mendukung tumbuh kembang mereka. Namun, lebih dari itu, program ini membuka peluang besar bagi Garut untuk memanfaatkan momentum menuju swasembada pangan dan kemandirian ekonomi.
Dengan menyediakan anggaran sebesar Rp10.000 per porsi untuk setiap siswa, pemerintah pusat akan menggelontorkan Rp2 miliar setiap hari, atau Rp44 miliar setiap bulan (22 hari sekolah). Dalam satu tahun ajaran (11 bulan), jumlah dana yang akan beredar mencapai Rp484 miliar. Dana ini menjadi peluang strategis untuk memperkuat ekonomi lokal dengan memberdayakan sektor pertanian, peternakan, perikanan, serta UMKM, koperasi, dan BUMDes.
Kebutuhan bahan pangan yang begitu besar dari program ini tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga peluang emas bagi Garut. Dalam satu hari, program ini membutuhkan 30 ton beras, 20 ton sayur, 20 ton protein hewani seperti ayam atau telur, serta 10 ton buah. Jika diakumulasikan dalam satu bulan, kebutuhan bahan pangan ini mencapai 660 ton beras, 440 ton sayur, 440 ton protein hewani, dan 220 ton buah. Dalam satu tahun ajaran, kebutuhan ini melonjak menjadi 7.260 ton beras, 4.840 ton sayur, 4.840 ton protein hewani, dan 2.420 ton buah. Jumlah ini adalah pasar yang sangat besar bagi para petani, peternak, dan nelayan lokal.
Galih F. Qurbany, Wakil Ketua Kadin Garut, menekankan bahwa masyarakat harus melihat program ini bukan hanya sebagai pemberian dari pemerintah pusat, tetapi juga sebagai momentum untuk membangun kemandirian ekonomi. “Ini adalah peluang besar bagi masyarakat Garut untuk menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang kokoh. Dengan keterlibatan petani, peternak, nelayan, UMKM, koperasi, dan BUMDes, program ini bisa menjadi motor penggerak utama perekonomian daerah,” ujarnya.
Petani lokal, misalnya, akan mendapatkan pasar yang pasti untuk hasil panen mereka. Begitu pula peternak dan nelayan yang dapat meningkatkan kapasitas produksi mereka karena permintaan yang stabil. Di sisi lain, UMKM dan koperasi bisa menjadi penyedia bahan olahan seperti tahu, tempe, dan minyak goreng, sementara BUMDes dapat berperan sebagai pengelola distribusi makanan ke sekolah-sekolah. Semua sektor ini saling terhubung, menciptakan rantai pasok yang mendukung keberlanjutan program sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, dengan potensi besar ini, ada kecenderungan setiap daerah akan mulai memprotek komoditas hasil tanam, peternakan, maupun perkebunan mereka untuk memenuhi pasokan lokal. Langkah ini diperlukan agar kebutuhan pangan bagi program makan siang gratis dapat terpenuhi tanpa bergantung pada pasokan dari luar daerah. Hanya daerah yang memang telah menjadi surplus atau pemasok hasil pertanian yang akan tetap menjalankan perannya sebagai penyedia bagi daerah lain. Dalam konteks ini, Garut memiliki peluang besar untuk tidak hanya memenuhi kebutuhannya sendiri tetapi juga menjadi penyuplai utama bagi daerah lain, mengingat kekayaan alamnya yang melimpah.
Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesadaran masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai momentum kebangkitan ekonomi. Jika masyarakat hanya menjadi penonton, program ini akan kehilangan potensi dampaknya yang lebih luas. Sebaliknya, dengan keterlibatan aktif masyarakat, program ini bisa menjadi titik awal menuju kemandirian pangan dan penguatan ekonomi berbasis komunitas.
Galih juga mengingatkan pentingnya sinergi antara pemerintah, Kadin, dan lembaga-lembaga ekonomi lokal untuk memastikan program ini berjalan dengan optimal. Pemberdayaan petani melalui akses teknologi dan pelatihan, dukungan kepada peternak kecil untuk meningkatkan produksi, serta penguatan koperasi dan UMKM sebagai mitra strategis harus menjadi prioritas. Selain itu, BUMDes harus diberdayakan untuk menjadi pengelola distribusi dan logistik, sehingga manfaat program ini dapat dirasakan hingga pelosok desa.
Kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan program ini sebagai momentum kebangkitan sangatlah penting. Program makan siang gratis ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan siswa, tetapi juga menciptakan dampak ekonomi jangka panjang. Dengan perputaran dana yang besar, sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan UMKM lokal akan tumbuh lebih cepat. Jika dikelola dengan baik, program ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga membawa Garut lebih dekat pada swasembada pangan.
Momentum ini tidak datang dua kali. Masyarakat Garut memiliki tanggung jawab untuk menjadikan program makan siang gratis ini sebagai tonggak penting dalam perjalanan menuju kemandirian daerah. Dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada, Garut tidak hanya akan memenuhi kebutuhan pangan anak-anak, tetapi juga membangun ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri.
Sebagai penutup, Galih menyampaikan bahwa program ini adalah kesempatan berharga untuk memperkuat posisi Garut sebagai salah satu daerah yang mandiri dan berdaya saing. “Ini bukan sekadar program bantuan, tetapi sebuah peluang besar untuk membangun masa depan Garut. Mari kita manfaatkan momentum ini sebaik-baiknya demi anak-anak kita dan kesejahteraan seluruh masyarakat,” pungkasnya.***